Rencana : pembangunan nasional semesta berencana
(PNSB) 1961-1969.
Rencana pembangunan ini disusun berlandasarkann
“Manfesto Politik 1960” untuk
meningkatkan kemakmuran rakyat dengan azas
ekonomi terpimpin.
Faktor yang menghambat/ kelemahannya antara lain
:
1) Rencana ini
tidak mengikuti kaidah-kaidah ekonomi yang lazim.
2) Defisit
anggaran yang terus meningkat yang mengakibatkan hyper inflasi.
3) Kondisi ekonomi
dan politik saat itu: dari dunia luar (Barat) Indonesia sudah terkucilkan
karena sikapnya yang konfrontatif. Sementara di dalam negeri pemerintah selalu
mendapat rongrongan dari golongan kekuatan politik “kontra-revolusi” (Muhammad
Sadli, Kompas, 27 Juni 1966, Penyunting Redaksi Ekonomi Harian Kompas, 1982).
Beberapa kebijaksanaan ekonomi – keuangan:
1) Dengan
Keputusan Menteri Keuangan No. 1/M/61 tanggal 6 Januari 1961: Bank Indonesia
dilarang menerbitkan laporan keuangan/ statistik keuangan, termasuk analisis
dan perkembangan perekonomian Indonesia.
2) Pada tanggal 28
Maret 1963 Presiden Soekarno memproklamirkan berlakunya Deklarasi Ekonomi dan
pada tanggal 22 Mei 1963 pemerintah menetapkan berbagai peraturan negara di
bidang perdagangan dan kepegawaian.
3) Pokok perhatian
diberikan pada aspek perbankan, namun nampaknya perhatian ini diberikan dalam
rangka penguasaan wewenang mengelola moneter di tangan penguasa. Hal ini nampak
dengan adanya dualisme dalam mengelola moneter. (Suroso, 1994).
MASA STABILISASI DAN REHABILITASI (1966 – 1968)
Masalah yang dihadapi
Menanggapi masalah ekonomi yang kin dengan tajam
disoroti oleh MPRS, maka Prof. Dr. Widjojo Nitisastro dalam percakapan dengan
wartawan Kompas menyatakan, bahwa sumber pokok kemerosotan ekonomi ialah
penyelewenangan pelaksanaan UUD 1945. sebagai misal pasal 33 yang selama
beberapa tahun ini dengan sengaja atau tidak telah didesak oleh
landasan-landasan ideal yang lain. Demikian pula realisasi Pancasila dalam
bidang ekonomi sering dilupakan. Misalnya sila Kedaulatan Rakyat tercermin
dalam pasal 23 yang mengatur anggaran belanja negara (Kompas, 29 Juni 1966,
Penyunting Redaksi Ekonomi Harian Kompas, 1982).
Periode ini dikenal sebagai periode stabilisasi
dan rehabilitasi sesuai dengan masalah pokok yang dihadapi, yaitu :
a)
Meningkatnya inflasi yang mencapai 650% pada tahun 1965
b)
Turunnya produksi nasional di semua sector
c)
Adanya dualisme pengawas dan pembinaan perbankan. Dualisme ini muncul dari
struktur organisasi perbankan yang meletakkan Deputy Menteri bank Sentral dan
Deputy Menteri Urusan Penertiban bank dan Modal Swasta berada di bawah Menteri
Keuangan. (Suroso, 1994).
Rencana dan Kebijaksanaan Ekonomi
Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang :
Pembaharuan kebijaksanaan landasan ekonomi, keuangan dan pembangunan,
tertanggal 5 Juli 1966, antara lain menetapkan :
(1) Program stabilisasi dan rehabilitasi : 1966
– 1968 (jangka pendek)
Skala Prioritasnya
a) Pengendalian inflasi
b) Pencukupan kebutuhan pangan
c) Rehabilitasi prasarana ekonomi
d) Peningkatan kegiatan ekspor
e) Pencukupan kebutuhan sandang
Komponen Rencananya
a) Rencana fisik dengan sasaran utama :
1. Pemulihan dan peningkatan kapasitas
produksi (pangan, ekspor dan sandang)
2. Pemulihan dan peningkatan prasrana
ekonomi yang menunjang bidang-bidang tersebut.
b) Rencana Moneter dengan sasaran
utama :
1. Terjaminnya pembiayaan rupiah dan devisa bagi
pelaksanaan rencana fisik
2. Pengendalian inflasi pada tingkat harga
yang relatif stabil sesuai dengan daya beli rakyat.
Tindakan dan Kebijaksanaan Pemerintah
a) Tindakan pemerintah “banting stir” dari
ekonomi komando ke ekonomi bebas demokratis; dari ekonomi tertutup ke ekonomi
terbuka; dari anggaran defisit ke anggaran berimbang. (Mubyarto, 1988).
b) Serangkaian kebijaksanaan Oktober
1966, Pebruari 1967 dan Juli 1967 antara lain :
1. Kebijaksanaan kredit yang lebih selektif
(penentuan jumlah, arah, suku bunga)
2. Menseimbangkan/ menurunkann defisit APBN
dari 173,7% (1965), 127,3% (1966), 3,1% (1967) dan 0% (1968). (Suroso, 1994).
3. Mengesahkan / memberlakukan undang –
undang :
a) UU Pokok Perbankan No.14/ 1967
b) UU Perkoperasian No. 12/ 1967
c) UU Bank Sentral No. 13/ 1968
d) UU PMA tahun 1967 dan PMDN tahun 1968
e) Membuka Bursa Valas di Jakarta 1967
(2) Program Pembangunan dimulai tahun 1969/
1970 jangka panjang)
Skala Prioritasnya)
1. Bidang pertanian
2. Bidang prasarana
3. Bidang industri/ pertambangan dan minyak
Jangka waktu dan strategi pembangunan
1. Pembangunann jangka menengah terdiri
dari pembangunan Lima Tahun (PELITA) dan dimulai dengan PELITA I sejak tahun
1969/ 1970
2. Pembangunan Jangka Panjang dimulai
dengan pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT – I) selama 25 tahun, terdiri
dari :
A. PELITA I 69 / 70 = 73 / 74
Periode Pelita I Dimulai dengan Peraturan
Pemerintah No. 16 Tahun 1970, mengenai Penyempurnaan Tata Niaga Bidang Ekspor
dan Impor dan Peraturn Agustus 1971, mengenai Devaluasi Mata Uang Rupiah
Terhadap Dolar, dengan sasaran pokoknya adalah :
·
Kestabilan harga bahan pokok,
·
Peningkatan Nilai Ekspor
·
Kelancaran Impor
·
Penyebaran Barang di Dalam
Negeri.
Titik berat pada sektor pertanian dan industri
yang menunjang sektor pertanian.
B. PELITA II 74/75 – 78/79
Kebijaksanaannya mengenai Perkreditan.
Kecil dan menengah mendorong para eksportir mendorong
kemajuan pengusaha kecil atau ekonomi lemah dengan produk Kredit Investasi
Kecil (KIK).
Kebijaksanaan Fiskal,
Daya saing komoditiØPenghapusan pajak ekspor untuk mempertahankan ekspor di pasar dunia
untuk menggalakkan penanaman modal asing dan dalam negeri guna mendorong
Investasi Dalam Negeri.
Kebijaksanaan 15 November 1978,
- Menaikkan
hasil produksi nasional,
- $3B
menaikkan daya saing komoditi ekspor yang lemah karena adanya inflasi yang
besarnya rata-ratanya 34 % akibatnya kurang dapat bersaing dengan produk
sejenis dari Negara lain dan adanya resesi dan krisis dunia pada tahun 1979.
Titik berat pada sektor pertanian dengan
meningkatkan industri pengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
C. PELITA III 79/80 – 83/84
-
Paket Januari 1982
Tatacara pelaksanaan Ekspor-Impor dan Lalu
lintas devisa. Diterapkan kemudahan dalam hal pajak yang dikenakan terhadap
komoditi ekspor, serta kemudahan dalam hal kredit untuk komoditi ekspor.
-
Paket Kebijaksanaan Imbal Beli (Counter Purchase)
Keharusan eksportir maupun importer uar negeri
untuk membeli barang-barang Indonesia dalam jumlah yang sama.
-
Kebijaksanaan Devaluasi 1983,
yakni Dengan menurunkan nilai tukar Rupiah
terhadap mata uang dolar dari Rp 625/$ menjadi Rp 970/$ dengan harapan gairah
ekspor dapat meningkat sehingga permintaan Negara menjadi lebih banyak dan
komoditi impor menjadi lebih mahal karena diperlukan lebih banyak rupiah untuk
mendapatkannya.
Titik berat sektor pertanian (swasembada beras)
dengan meningkatkan industri pengolah bahan baku menjadi barang jadi
D. PELITA IV 84/85 – 88/89
-
Kebijaksanaan INPRES No. 4 Tahun 1985, dilatarbelakangi oleh keinginan untuk
meningkatkan ekspor non-migas.
- Paket
Kebijaksaan 6 Mei 1986 (PAKEM), dikeluarkan dengan tujuan untuk mendorong
sector swasta di bidang ekspor maupun di bidang penanaman modal.
- Paket
Devaluasi 1986, ditempuh karena jatuhnya harga minyak di pasaran dunia yang
mengakibatkan penerimaan pemerintah turun. o Paket Kebijaksanaan 25 Oktober
1986, merupakan deregulasi di bidang perdagangan, moneter dan penanaman modal
dengan melakukan Penurunan Bea masuk impor untuk komoditi bahan penolong dan
bahan baku, proteksi produksi yang lebih efisien, kebijaksanaan penanaman
modal.
- Paket
Kebijaksaan 15 Januari 1987, melakukan peningkatan efisiensi, inovasi dan
produktivitas beberapa sector indutri dalam rangka meningkatkan ekspor
non-migas. o Paket Kebijaksanaan 24 Desember 1987 (PAKDES), melakukan
restrukturisasi bidang ekonomi.
- Paket 27
Oktober 1988, Kebijaksanaan deregulasi untuk menggairahkan pasar modal dan
menghimpun dana masyarakat guna biaya pembangunan.
- Paket
Kebijaksanaan 21 November 1988 (PAKNOV), melakukan deregulasi dan
debirokratisasi di bidang perdagangan dan hubungan Laut.
- Paket
Kebijaksanaan 20 Desember 1988 (PAKDES), memberikan keleluasaan bagi pasar
modal dan perangkatnya untuk melakukan aktivitas yang lebih produktif.
Titik berat pertanian (melanjutkan swasembada
pangan) dengan meningkatkan industri penghasil mesin-mesin.
E. PELITA V 89/90 – 93/94
Sektor pertanian untuk memantapkan swasembada
pangan dengan meningkatkan sektor industri penghasil komoditi ekspor, pengolah
hasil pertanian, penghasil mesin-mesin dan industri yang banyakk menyerap
tenaga kerja.
PELITA V meletakkan landasan yang kuat untuk
tahap pembangunan selanjutnya. (Suroso, 1994). • Periode Pelita V Lebih
diarahkan kepada pengawasan, pengendalian dan upaya kondusif guna mempersiapkan
proses tinggal landas menuju Rencana Pembangunan Jangka Panjang Tahap Kedua.
Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap
mempertahankan kestabilan harga.
Ada 2 kebijakan moneter yaitu :
* Kebijakan Moneter Ekspansif
Suatu kebijakan untuk menambah jumlah uang yang beredar.
* Kebijakan Moneter Kontraktif
Suatu kebijakan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar atau disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy).
Ada beberapa cara untuk melakukan kebijakan moneter diantaranya :
- Operasi Pasar Terbuka
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah.
- Diskonto
Diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum.
- Rasio Cadangan Wajib
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah.
Ada 2 kebijakan moneter yaitu :
* Kebijakan Moneter Ekspansif
Suatu kebijakan untuk menambah jumlah uang yang beredar.
* Kebijakan Moneter Kontraktif
Suatu kebijakan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar atau disebut juga dengan kebijakan uang ketat (tight money policy).
Ada beberapa cara untuk melakukan kebijakan moneter diantaranya :
- Operasi Pasar Terbuka
Operasi pasar terbuka adalah cara mengendalikan uang yang beredar dengan menjual atau membeli surat berharga pemerintah.
- Diskonto
Diskonto adalah pengaturan jumlah duit yang beredar dengan memainkan tingkat bunga bank sentral pada bank umum.
- Rasio Cadangan Wajib
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah.
Kebijakan fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dibuat
pemerintah untuk mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan
pendapatan pemerintah. kebijakan fiskal lebih mekankan pada pengaturan
pendapatan dan belanja pemerintah. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah
pengeluaran dan pajak.
Ada 2 macam kebijakan fiskal yatu :
* Kebijakan Fiskal Ekspansif
Kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian.
* Kebijakan Fiskal Kontraktif
Kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya.
Tujuan dari kebijakan fiskal yaitu:
- Untuk meningkatkan produksi nasional (PDB) dan pertumbuhan ekonomi.
- Untuk memperluas lapangan kerja dan mengurangi pengangguran.
- Untuk menstabilkan harga-harga barang, khususnya mengatasi inflasi.
Ada 2 macam kebijakan fiskal yatu :
* Kebijakan Fiskal Ekspansif
Kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian.
* Kebijakan Fiskal Kontraktif
Kebijakan pemerintah untuk membuat pemasukannya lebih besar daripada pengeluarannya.
Tujuan dari kebijakan fiskal yaitu:
- Untuk meningkatkan produksi nasional (PDB) dan pertumbuhan ekonomi.
- Untuk memperluas lapangan kerja dan mengurangi pengangguran.
- Untuk menstabilkan harga-harga barang, khususnya mengatasi inflasi.
Kebijakan Fiskal dan Moneter Sektor Luar Negeri
Kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian melalui penerimaan
negara dan pengeluaran negara. Disamping pengaruh dari selisih antara
penerimaan dan pengeluaran (defisit atau surplus), perekonomian juga
dipengaruhi oleh jenis sumber penerimaan negara dan bentuk kegiatan yang
dibiayai pengeluaran negara.
Di dalam perhitungan defisit atau surplus anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), perlu diperhatikan jenis-jenis penerimaan yang dapat dikategorikan sebagai penerimaan negara, dan jenis-jenis pengeluaran yang dapat dikategorikan sebagai pengeluaran negara. Pada dasarnya yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah pajak-pajak dan berbagai pungutan yang dipungut pemerintah dari perekonomian dalam negeri, yang menyebabkan kontraksi dalam perekonomian. Dengan demikian hibah dari negara donor serta pinjaman luar negeri tidak termasuk dalam penerimaan negara.
Di lain sisi, yang dimaksud dengan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran untuk operasi pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor negara ataupun badan usaha milik negara. Dengan demikian pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri tidak termasuk dalam perhitungan pengeluaran negara.
Dari perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, akan diperoleh besarnya surplus atau defisit APBN. Dalam hal terdapat surplus dalam APBN, hal ini akan menimbulkan efek kontraksi dalam perekonomian, yang besarnya tergantung kepada besarnya surplus tersebut . Pada umumnya surplus tersebut dapat dipergunakan sebagai cadangan atau untuk membayar hutang pemerintah (prepayment).
Dalam hal terjadi defisit, maka defisit tersebut dapat dibayai dengan pinjaman luar negeri (official foreign borrowing) atau dengan pinjaman dalam negeri. Pinjaman dalam negeri dapat dalam bentuk pinjaman perbankan dan non-perbankan yang mencakup penerbitan obligasi negara (government bonds) dan privatisasi. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa penerbitan obligasi negara merupakan bagian dari pembiayaan defisit dalam negeri non-perbankan yang nantinya diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih tinggi. Hal yang paling penting diperhatikan adalah menjaga agar hutang luar negeri atau hutang dalam negeri tersebut masih dalam batas-batas kemampuan negara (sustainable).
Pada dasarnya defisit dalam APBN akan menimbulkan efek ekspansi dalam perekonomian. Dalam hal defisit APBN dibiayai dengan pinjaman luar negeri, maka hal ini tidak menimbulkan tekanan inflasi jika pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang-barang impor, seperti halnya dengan sebagian besar pinjaman dari CGI selama ini. Akan tetapi bila pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang dan jasa di dalam negeri, maka pembiayaan defisit dengan memakai pinjaman luar negeri tersebut akan menimbulkan tekanan inflasi. Dilain pihak, pembiayaan defisit APBN dengan penerbitan obligasi negara akan menambah jumlah uang yang beredar dan akan menimbulkan tekanan inflasi.
Adapun pembiayaan defisit dengan menggunakan sumber dari pinjaman luar negeri akan berpengaruh pada neraca pembayaran khususnya pada lalu lintas modal pemerintah . Semakin besar jumlah pinjaman luar negeri yang dapat ditarik, lalu lintas modal Pemerintah cenderung positif. Adapun kinerja pemerintah dapat dilihat dari besarnya nilai lalu lintas moneter. Nilai lalu lintas moneter yang positif menunjukkan adanya cash inflow.
Kebijakan moneter dan pengaruhnya terhadap perekonomian
Pada dasarnya, kebijaksanaan moneter ditujukan agar likuiditas dalam perekonomian berada dalam jumlah yang “tepat” sehingga dapat melancarkan transaksi perdagangan tanpa menimbulkan tekanan inflasi. Umumnya pelaksanaan pengaturan jumlah likuiditas dalam perekonomian ini dilakukan oleh bank sentral, melalui berbagai instrumen , khususnya open market operations (OMOs).
Dalam melaksanakan OMO, pada umumnya bank sentral menjual atau membeli obligasi negara jangka panjang. Jika likuiditas dalam perekonomian dirasakan perlu ditambah, maka bank sentral akan membeli sejumlah obligasi negara di pasar sekunder, sehingga uang beredar bertambah, dan dilain pihak bila bank sentral ingin mengurangi likuiditas dalam perekonomian, bank sentral akan menjual sebagian obligasi negara yang berada dalam portofolio bank sentral. Perlu difahami bahwa portofolio obligasi negara di bank sentral tersebut memberikan pendapatan kepada bank sentral berupa bunga obligasi.
Dalam kasus Indonesia, sampai saat ini Bank Indonesia belum memiliki obligasi negara yang dapat dipakai untuk OMO. Walaupun pemerintah Indonesia telah menerbitkan obligasi, yang dimulai pada masa krisis untuk rekapitalisasi bank-bank yang bermasalah, tetapi pasar sekunder bagi obligasi negara baru pada tahap awal dan volume transaksi jual beli di pasar sekunder tersebut masih sedikit. Selama ini Bank Indonesia masih mempergunakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk melaksanakan OMOs. Disamping menimbulkan beban pada Bank Indonesia, karena BI harus membayar bunga SBI yang cukup tinggi, jangka waktu SBI juga sangat pendek, umumnya 1 (satu) bulan, sehingga instrumen ini sebenarnya kurang memadai untuk dipakai dalam OMOs.
Di dalam perhitungan defisit atau surplus anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), perlu diperhatikan jenis-jenis penerimaan yang dapat dikategorikan sebagai penerimaan negara, dan jenis-jenis pengeluaran yang dapat dikategorikan sebagai pengeluaran negara. Pada dasarnya yang dimaksud dengan penerimaan negara adalah pajak-pajak dan berbagai pungutan yang dipungut pemerintah dari perekonomian dalam negeri, yang menyebabkan kontraksi dalam perekonomian. Dengan demikian hibah dari negara donor serta pinjaman luar negeri tidak termasuk dalam penerimaan negara.
Di lain sisi, yang dimaksud dengan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran untuk operasi pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor negara ataupun badan usaha milik negara. Dengan demikian pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri tidak termasuk dalam perhitungan pengeluaran negara.
Dari perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara tersebut, akan diperoleh besarnya surplus atau defisit APBN. Dalam hal terdapat surplus dalam APBN, hal ini akan menimbulkan efek kontraksi dalam perekonomian, yang besarnya tergantung kepada besarnya surplus tersebut . Pada umumnya surplus tersebut dapat dipergunakan sebagai cadangan atau untuk membayar hutang pemerintah (prepayment).
Dalam hal terjadi defisit, maka defisit tersebut dapat dibayai dengan pinjaman luar negeri (official foreign borrowing) atau dengan pinjaman dalam negeri. Pinjaman dalam negeri dapat dalam bentuk pinjaman perbankan dan non-perbankan yang mencakup penerbitan obligasi negara (government bonds) dan privatisasi. Dengan demikian perlu ditegaskan bahwa penerbitan obligasi negara merupakan bagian dari pembiayaan defisit dalam negeri non-perbankan yang nantinya diharapkan dapat memainkan peranan yang lebih tinggi. Hal yang paling penting diperhatikan adalah menjaga agar hutang luar negeri atau hutang dalam negeri tersebut masih dalam batas-batas kemampuan negara (sustainable).
Pada dasarnya defisit dalam APBN akan menimbulkan efek ekspansi dalam perekonomian. Dalam hal defisit APBN dibiayai dengan pinjaman luar negeri, maka hal ini tidak menimbulkan tekanan inflasi jika pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang-barang impor, seperti halnya dengan sebagian besar pinjaman dari CGI selama ini. Akan tetapi bila pinjaman luar negeri tersebut dipergunakan untuk membeli barang dan jasa di dalam negeri, maka pembiayaan defisit dengan memakai pinjaman luar negeri tersebut akan menimbulkan tekanan inflasi. Dilain pihak, pembiayaan defisit APBN dengan penerbitan obligasi negara akan menambah jumlah uang yang beredar dan akan menimbulkan tekanan inflasi.
Adapun pembiayaan defisit dengan menggunakan sumber dari pinjaman luar negeri akan berpengaruh pada neraca pembayaran khususnya pada lalu lintas modal pemerintah . Semakin besar jumlah pinjaman luar negeri yang dapat ditarik, lalu lintas modal Pemerintah cenderung positif. Adapun kinerja pemerintah dapat dilihat dari besarnya nilai lalu lintas moneter. Nilai lalu lintas moneter yang positif menunjukkan adanya cash inflow.
Kebijakan moneter dan pengaruhnya terhadap perekonomian
Pada dasarnya, kebijaksanaan moneter ditujukan agar likuiditas dalam perekonomian berada dalam jumlah yang “tepat” sehingga dapat melancarkan transaksi perdagangan tanpa menimbulkan tekanan inflasi. Umumnya pelaksanaan pengaturan jumlah likuiditas dalam perekonomian ini dilakukan oleh bank sentral, melalui berbagai instrumen , khususnya open market operations (OMOs).
Dalam melaksanakan OMO, pada umumnya bank sentral menjual atau membeli obligasi negara jangka panjang. Jika likuiditas dalam perekonomian dirasakan perlu ditambah, maka bank sentral akan membeli sejumlah obligasi negara di pasar sekunder, sehingga uang beredar bertambah, dan dilain pihak bila bank sentral ingin mengurangi likuiditas dalam perekonomian, bank sentral akan menjual sebagian obligasi negara yang berada dalam portofolio bank sentral. Perlu difahami bahwa portofolio obligasi negara di bank sentral tersebut memberikan pendapatan kepada bank sentral berupa bunga obligasi.
Dalam kasus Indonesia, sampai saat ini Bank Indonesia belum memiliki obligasi negara yang dapat dipakai untuk OMO. Walaupun pemerintah Indonesia telah menerbitkan obligasi, yang dimulai pada masa krisis untuk rekapitalisasi bank-bank yang bermasalah, tetapi pasar sekunder bagi obligasi negara baru pada tahap awal dan volume transaksi jual beli di pasar sekunder tersebut masih sedikit. Selama ini Bank Indonesia masih mempergunakan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) untuk melaksanakan OMOs. Disamping menimbulkan beban pada Bank Indonesia, karena BI harus membayar bunga SBI yang cukup tinggi, jangka waktu SBI juga sangat pendek, umumnya 1 (satu) bulan, sehingga instrumen ini sebenarnya kurang memadai untuk dipakai dalam OMOs.
Sumber
http://fadilfadilblogspotcom-alpachino.blogspot.com/2011/04/kebijakan-fiskal-dan-moneter-sektor.html
0 komentar:
Posting Komentar