Jumat, 16 Desember 2011

PRIBADI yang di CARI

all people have something like it or not, especially about ourselves ... personality ... if you have a personality?

Ketulusan
Ketulusan menempati peringkat pertama sebagai sifat yang paling disukai oleh semua orang. Ketulusan membuat orang lain merasa aman dan dihargai karena yakin tidak akan dibodohi atau dibohongi. Orang yang tulus selalu mengatakan kebenaran, tidak suka mengada-ada, pura- pura, mencari-cari alasan atau memutarbalikkan fakta. Prinsipnya “Ya diatas Ya dan Tidak diatas Tidak”. Tentu akan lebih ideal bila ketulusan yang selembut merpati itu diimbangi dengan kecerdikan seekor ular. Dengan begitu, ketulusan tidak menjadi keluguan yang bisa merugikan diri sendiri.

Kerendahan Hati
Berbeda dengan rendah diri yang merupakan kelemahan, kerendah hatian justru mengungkapkan kekuatan. Hanya orang yang kuat jiwanya yang bisa bersikap rendah hati. Ia seperti padi yang semakin berisi semakin menunduk. Orang yang rendah hati bisa mengakui dan menghargai keunggulan orang lain. Ia bisa
membuat orang yang diatasnya merasa oke dan membuat orang yang di bawahnya tidak merasa minder.

Kesetiaan
Kesetiaan sudah menjadi barang langka & sangat tinggi harganya. Orang yang setia selalu bisa dipercaya dan diandalkan. Dia selalu menepati janji, punya komitmen yang kuat, rela berkorban dan tidak suka berkhianat.

Positive Thinking
Orang yang bersikap positif (positive thinking) selalu berusaha melihat segala sesuatu dari kacamata positif, bahkan dalam situasi yang buruk sekalipun. Dia lebih suka membicarakan kebaikan daripada keburukan orang lain, lebih suka bicara mengenai harapan daripada keputusasaan, lebih suka mencari solusi daripada frustasi, lebih suka memuji daripada mengecam, dan sebagainya.

Keceriaan
Karena tidak semua orang dikaruniai temperamen ceria, maka keceriaan tidak harus diartikan ekspresi wajah dan tubuh tapi sikap hati. Orang yang ceria adalah orang yang bisa menikmati hidup, tidak suka mengeluh dan selalu berusaha meraih kegembiraan. Dia bisa mentertawakan situasi, orang lain, juga dirinya sendiri. Dia punya potensi untuk menghibur dan mendorong semangat orang lain.

Bertanggung jawab
Orang yang bertanggung jawab akan melaksanakan kewajibannya dengan sungguh-sungguh. Kalau melakukan kesalahan, dia berani mengakuinya. Ketika mengalami kegagalan, dia tidak akan mencari kambing hitam untuk disalahkan. Bahkan kalau dia merasa kecewa dan sakit hati, dia tidak akan menyalahkan siapapun. Dia menyadari bahwa dirinya sendirilah yang bertanggung jawab atas apapun yang dialami dan dirasakannya.

Percaya Diri
Rasa percaya diri memungkinkan seseorang menerima dirinya sebagaimana adanya, menghargai dirinya dan menghargai orang lain. Orang yang percaya diri mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi yang baru. Dia tahu apa yang harus dilakukannya dan melakukannya dengan baik.

Kebesaran Jiwa
Kebesaran jiwa dapat dilihat dari kemampuan seseorang memaafkan orang lain. Orang yang berjiwa besar tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa benci dan permusuhan. Ketika menghadapi masa- masa sukar dia tetap tegar, tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan dan keputusasaan.

Easy Going
Orang yang easy going menganggap hidup ini ringan. Dia tidak suka membesar-besarkan masalah kecil. Bahkan berusaha mengecilkan masalah-masalah besar. Dia tidak suka mengungkit masa lalu dan tidak mau khawatir dengan masa depan. Dia tidak mau pusing dan stress dengan masalah-masalah yang berada di luar kontrolnya.

Empati
Empati adalah sifat yang sangat mengagumkan. Orang yang berempati bukan saja pendengar yang baik tapi juga bisa menempatkan diri pada posisi orang lain. Ketika terjadi konflik dia selalu mencari jalan keluar terbaik bagi kedua belah pihak, tidak suka memaksakan pendapat dan kehendaknya sendiri. Dia selalu berusaha memahami dan mengerti orang lain.

'' APRIL DI PELACURAN ''

Karena merasa jauh lebih dekat dan teduh, sudah sejak dulu-dulu April memilih rute untuk pergi dan pulang sekolah pada jalanan yang melewati pelacuran. Dia enggan menuruti instruksi kakek-neneknya yang mengarahkannya ke rute yang lebih “bermoral” yaitu jalanan aspal yang memutar melewati pertokoan dan lain-lain. Sebabnya disamping lebih jauh dan panas, telapak kaki April jadi seperti menginjak bara rasanya karena dia punya kebiasaan mencopot sepatunya ketika pulang sekolah.

Sebenarnya yang mengenalkan rute ”hidung belang” ini kakeknya juga. Ketika di awal-awal kelas 1, waktu umurnya baru enam setengah tahun. Saat dia masih diantar jemput kakek. Mereka lewat rute yang jauh, tentu saja. Tetapi ada satu waktu, karena satu keperluan yang menuntut harus pulang buru-buru, kakek menggandengnya lewat rute pelacuran supaya cepat sampai rumah. Kakeknya waktu itu menimbang bahwa toh April masih kecil, ingatan belum akurat. Masa iya sih akan bisa ingat lagi kalau hanya sekali saja melewati. Tetapi nyatanya dugaannya keliru. April jauh lebih cerdas daripada yang beliau kira. Ingatan April kecil lebih akurat dibandingkan anjing gembala Jerman.

Ketika April sudah dilepas pergi-pulang sendiri, langsung saja dia memlih rute pelacuran. Sudah barang tentu dia sampai di rumah jadi lebih cepat.

Kakeknya bertanya, “Lewat mana kamu tadi, Pril?“

Dengan polos April menjawab, “Lewat jalan tanah itu, Kek. Yang banyak pepohonan. Yang ada sungai kecil di sebelah ujungnya.”

Kakek April terkesiap. Beliau tahu jalan mana itu. “Lhoo, April tidak boleh lewat jalan itu. Nanti kamu bisa tersesat. Jalan-jalan di sana tidak keruan. Banyak belok-belok. April lewat jalan besar saja, ya. Jangan lewat sana lagi.”

April lantas paham jikalau kakeknya tidak mau dia lewat jalan yang teduh dan dekat itu. Tetapi April tidak perduli. Dia yakin kalau dia tidak mungkin tersesat. Oleh karena itu setiap pulang sekolah dia meluangkan main-main sebentar di sekolah sebelum pulang. Dan sesampainya di rumah, ketika ditanya lagi oleh kakek mengenai jalan mana yang di ambil, April bilang lewat jalan besar. Lewat toko-toko. Setelah beberapa kali menanya guna meyakinkan, kakek tidak risau lagi. Beliau segera lupa masalah rute cucunya.

Dulu sewaktu masih kelas satu, dua, dan tiga, April masih jarang sekali melihat lonte ketika dia lewat sana. Hampir semua dari mereka masih tidur kecapaian. Tapi setelah kelas 4, ketika anak-anak pulang jam setengah satu, April mulai melihat lebih banyak perempuan. Berkeleleran hanya berkain dan berkutang, merokok-rokok, malas-malasan di beranda rumah-rumah kayu yang dilewatinya. April tidak ambil pusing soal bermunculannya kaum hawa tersebut. Perempuan-perempuan itu juga tidak ambil pusing soal April setiap hari lewat di depan mereka.

Hingga sampai pada suatu siang. Siang yang bersejarah karena mulai dari siang itu April mulai berinteraksi dengan lonte. Terutama dengan Jumiati dan beberapa temannya.

Seperti biasa April yang hitam mungil sedang berjalan pulang di lewat tengah hari yang terik. Dia sudah berjalan beberapa puluh meter  di jalan tanah komplek pelacuran. Tiba-tiba  jeritan perempuan melengking dari sebuah rumah beberapa meter di depannya. Disusul tiga perempuan berhamburan keluar. Mereka bergidik-gidik ngeri.

Sampai di perempuan-perempuan yang sedang bergidik-gidik itu April berhenti dan bertanya, ”Ada apa, Mbak?”

”Iiiii, ular! Ular di dalam sana tuh! Iiiii, ular belang.” Dijawab Jumiati sambil ngeri berjingkrak-jingkrak.

”Ular? Mana ular?” April melongok jelalatan ke dalam ruang tamu rumah yang dituding-tuding sedang digerayangi ular.

Jumiati mencengkram lengannya menahan, ”Eiiii, jangan coba-cobaa! Bisanya ganas yang seperti itu!” April mengibas cengkramannya dan melihat lebih teliti. Dilihatnya ular belang hitam putih sebesar kelingking orang dewasa sedang meliuk-liuk di lantai semen ruang tamu. Seekor ular kesasar.

Yang ada di pikiran April, ular adalah hewan berbisa dan harus dipindahkan. Supaya perempuan-perempuan itu tidak ketakutan lagi. Dari itu dia mendapatkan sebatang ranting dan dengan tenang dia lantas melangkah masuk ke arena tempat ular meliuk-liuk bingung. Perempuan-perempuan yang sedang ngeri terpana melihat perbuatan tabah dan berani dari anak kecil berbaju putih celana merah.

Dekat dengan ular, April membungkuk. Ditotokkan ranting di dekat bagian tengah ular kemudian ranting disonteknya sehingga si ular menggelantung lewat badannya pada ranting. Bergegas tapi tetap kalem April membawa ranting yang diganduli ular keluar dan seterusnya berjalan tanpa menoleh. Dia terus menuju ke kali yang berada sisi ujung pelacuran. Di sana ular dilentingkannya jauh-jauh ke seberang kali kembali ke semak-semak. Sudah itu dia langsung melanjutkan perjalanannya pulang.

Esok siangnya ketika April lewat rumah yang digerayangi ular, Jumiati memanggilnya. Jumiati memang tinggal di situ. ”Nang,  kemari sebentar.” April mendekat ke perempuan duduk di kursi di beranda. ”Siapa namamu?” Yang ditanya memberikan namanya. Keduanya saling menatap. April melihat lebih jelas bahwasanya perempuan pertengahan dua puluhan yang mengajaknya bicara berwajah manis berambut hitam kelam panjang berombak. Kulitnya sawo matang.

”Tidak takut ular?” Tanya Jum lagi.

”Takut.”

”Kenapa kemarin berani?”

”Harus hati-hati. Jangan sampai kena gigit.”

Ketika Jumiati menawarkan Indomie rebus sebagai upah keberaniannya membuang ular, April tidak menolak. Dari itu Jumiati memintanya duduk menunggu sementara dia memasak dan datang dua perempuan lain yang rupanya peserta ketakutan ular belang hari sebelumnya.

Mereka menyanjung puja April lapar yang sedang berharap mie lekas datang. Dalam menanggapi sanjung pujanya dia hanya nyengir-nyengir saja. Atau kadang menjawab sepatah dua patah kata atas apa yang ditanyakan kedua perempuan. Ditanya dimana tinggalnya, dia tunjukkan. Ditanya tentang orang tuanya, dijawab ada dia punya ibu kerja di Arab. Lalu tinggal dengan siapa, dijawab dengan kakek dan nenek.

Nah sejak hari itu April menjadi teman kecil Jumiati. Hampir setiap waktu pulang sekolah mereka bertemu. Sering April mampir dan ada saja makanan yang ditawarkan oleh Jumiati kepadanya. April tidak pernah menolak. Sebagai balasan, April yang tahu diri menawarkan apa yang bisa ia bantu untuk Jumiati. Dari itu April-pun  paham bahwsanya Jum paling gemar diinjak-injak punggungnya. Jadi habis makan-makan, mereka sering lalu masuk kamar.

Dua kawan Jumiati pun kadang ikut-ikutan minta diinjak juga. Istilahnya minta ”ngamar” dengan April. Untuk mereka April juga bersedia. April menggeleng hanya ketika dia disodori uang.

Pertemanan berlangsung tanpa putus. Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Makin besar April makin banyak hal-hal yang bisa dilakukannya untuk membantu. Dia bisa mengecat. Memasang bola lampu. Merapikan sambungan-sambungan kabel listrik, atau pekerjaan-pekerjaan rumah tangga lain yang bisa dikerjakan anak laki-laki.

Jumiati punya rasa sayang yang tulus kepada April. Sementara April secara tidak sadar juga menyayanginya laksana figur ibu. Jumiati sakit, April yang mengerik. Jika sakitnya sedikit berat, April memasakkan bubur. Menyuapinya, menjagainya.

Kakek lama-lama mencium situasi, jika April berteman dengan lonte-lonte. Beliau jelas resah pada awalnya. Sampai-sampai, karena beliau tidak tahan lagi, April dipanggilnya. Waktu itu April sudah kelas enam menjelang lulus.

Dalam keadaan hanya berdua kakek bertanya, ”Pril, April tahu apa itu lonte?”

”Tahu, Kek.” Ekspresi April datar-datar saja.

”Apa coba?” Kakek penasaran pada definisi cucunya.

”Perempuan yang disetubuhi laki-laki iseng demi uang.” Kakek kaget kagum dengan definisi April yang terus terang. April bilang lagi, ”Orang-orang yang tidak iseng melihat lonte seperti sampah. Perempuan rusak. Tapi sering bersama mereka, April lihat biasa-biasa saja, Kek. Sama seperti kita makan nasi juga. Malah April selalu dipujikan amit-amit jika sampai seperti tamu-tamu yang ngamar dengan mereka.”

”April tidak takut dihina orang gara-gara berteman dengan lonte?”

”Tidak, Kek. April tidak sedang berbuat jahat. Dan tidak merugikan orang. Bukannya Kakek yang mengajarkan untuk selalu baik dengan sesama?” Dengan pertanyaan ini kakek terdiam beberapa saat.

Akhirnya kakek bilang, ”Ya sudah, teruslah berlaku baik dengan sesama.” Diteruskan dengan membicarakan lain soal daripada lonte.

Mengikuti waktu dan peristiwa,  terjadilah satu kejadian besar di pelacuran. Kejadian yang melibatkan April di dalamnya. Kejadian yang terjadi ketika April kelas dua SMP.

Menepati janjinya, sepulang sekolah April datang. Dia hendak bikin betul setrikaan Jum yang katanya tidak mau panas walau sudah terhubung ke listrik. Saat masuk di rumah Jum tidak ada menyambut. Tetapi melihat setrikaan yang sudah ada di meja ruang tamu, April langsung memastikan bahwa Jum ada dan sedang ngamar.

Benar saja. Ketika April grasak-grusuk menaruh alat-alat di lantai, mempersiapkan apa yang harus dikerjakannya, Jum berseru dari dalam kamar, ”Pril? Kamukah itu?”

”Iya.” April menjawab.

”Makan dulu, Pril, sebelum kerja. Pesan bakso saja sana.” Memang ada penjual bakso dorongan yang biasa stop menunggu pembeli beberapa meter dari rumah.

“Iya.” April menaruh semuanya dan bangkit pergi keluar ke tukang bakso. Tak lama dia kembali dan ngelepos lagi membongkar setrikaan.

Tukang bakso datang membawa nampan kayu dengan semangkuk bakso, wadah sambal, dan kecap serta cuka bertahta di atasnya. ”Pril, ini baksonya.”

April menyongsong. Membubuhkan banyak sambal di mangkuk. Memancrutkan kecap dan cuka secukupnya. Tukang bakso berlalu, April duduk di kursi, makan bakso.

Tidak sangka hari ini sambal lebih pedas dari biasanya. Meski April suka pedas, tapi dia telah bubuhkan sambal pedas itu banyak-banyak mengingat biasanya takaran segitu baru terasa. Jadi sekarang dia megap-megap kepedasan. Dari itu diputuskan untuk memakan isinya saja. Kuah yang biasanya tandas, sekarang disisakan hampir seluruhnya.

Selesai makan minum April kembali ke lantai. Meneruskan reparasinya.

Belum lagi lima menit April bekerja, terdengar langkah memasuki rumah. Yang datang adalah Jansen. Preman hidung belang yang sering berkeliaran di pelacuran. Dia datang dalam keadaan mabuk tanggung. Dan dalam keadaaan itu bisa dipastikan bahwa orang bernama Jansen ini selalu reseh. Benar saja. Dengan tanpa menghiraukan April yang sedang berkutat dengan setrikaan, Jansen menghampiri pintu kamar Jumiati di belakang punggung April. Pintu kamar digedor-gedornya sekuat tenaga. ”Buka! Bukaa, Sundal busuk! Kau janji selalu siap untukku!”

Gerendel pintu ditarik, Jumiati membukanya sedikit, ”Sebentar, Bang...”

Belum selesai Jumiati bicara, Jansen menjambak rambut tebal Jum yang saat itu sedikit awut-awutan karena cinta sesaat. Dijambak dan ditariknya sehingga Jum mengaduh kesakitan. Jansen berteriak parau, ”Sekarang, Sundal! Lempar yang di dalam keluar. Aku gantikan!”

Mendengar Jum terus mengaduh kesakitan, April bangun dan menggapai Jansen mencoba menghentikan kelakuan buasnya, ”Bang, Bang, sudah. Tunggu saja dulu.”

Tangan kanan Jansen yang menjambak Jum memang dilepaskannya. Tapi lantas tangan besar preman itu dipakai untuk mendorong dan membanting April sehingga mukanya telak mendarat di lantai. Sementara itu Jum menggunakan kesempatan alih perhatian ini guna menutup pintu dan menggerendelnya lagi.

April kesakitan sampai keluar sedikit air mata dengan hidungnya menabok lantai. Kepalanya digeleng-geleng untuk mengibas rasa sakit. Jansen kembali menggedor-gedor pintu Jum.

Saat April sedikit pulih dari pening dan linu di tulang hidungnya, pandangnya menumbuk ke cutter baru yang tergeletak di dekatnya bersama obeng, isolasi dan lain lain. Secara reflek cutter dipungutnya dan bilah pengiris dikeluarkannya penuh. Suara krekk cutter menjulur kalah dengan suara gedoran pintu.

Semuanya berlangsung cepat sekali. Dengan didahului melirik dulu sasarannya, sekuat tenaga April membabatkan cutter ke pergelangan kaki kanan Jansen yang hanya memakai sendal kulit. Swugg. Bagian bawah jeans Jansen yang menutup kulit kakinya terrrobek lurus, lalu giliran bagian belakang  mata kaki. Satu otot utama sebesar kelingking yang dalam istilah anatomi bernama tendon achilles.

Cutter baru, tenaga sabetan anak empat belas tahun yang berdarah dingin sudah cukup untuk mengiris sebuah tendon achilles hingga putus sama sekali. Beberapa detik cidera fatal itu belum terasakan oleh Jansen. Dia sempat merasa sesuatu menyayat pergelangan kaki, dan dia tahu itu perbuatan April, maka dia lalu kembali berbalik ke April untuk menyiksanya.

Melihat ancaman April bangun dari lantai dan menjauh. Dia berada di dekat meja sekarang. Melihat mangsanya menghindar Jansen makin berang ceperti celeng luka. Dia ambil ancang-ancang untuk menubruk April mungil yang sedang terpaku fokus menanti gerakan musuhnya.

Salah satu otot terpenting yang membuat manusia manusia bisa melompat berjingkat adalah tendon achilles yang di atas tumit di belakang mata kaki. Manakala otot ini putus, daya jingkat kaki berkurang drastis. Sama halnya dengan Jansen. Dia mencoba menggapai April dengan memanfaatkan kaki kanannya sebagai tumpuan dia meloncat. Tetapi apa daya, dia tidak tahu bahwa sesungguhnya kaki kanannya sudah tidak berkekuatan jungkit lagi dengan putusnya tendon. Maka tahu-tahu dia ambruk beralaskan kedua lututnya. Dan rasa sakit hebat dari pergelangan kaki kanan mulai menyerang.

Bukannya menghentikan usahanya menyerang, Jansen malah mencoba bangkit lagi hendak menerkam April sambil berteriak keras. April yang terpojok hanya bisa meraih mangkuk bakso yang tinggal tersisa kuah dan menyiramkannya secara pas ke muka Jansen. Pyoh!

Sukar dibayangkan bagaimana rasanya jika biji mata mendelik dituang kuah bakso super pedas. Jadilah kini Jansen melolong-lolong meraung-raung merasakan kedua matanya terbakar air cabe dan bagian pergelangannya yang perih linu. Dalam teriakannya dia minta tolong, minta ampun, dan mengancam April juga. Untuk mencabik-cabiknya kemudian..

Dengan tenang April bergerak di seputar Jansen yang menggelepar-gelepar di lantai. Di raihnya setrikaan besi yang hendak diperbaiki. Lalu katanya lantang pada Jansen, ”Aku pegang setrikaan besi yang berat, Bang! Sekali kepruk kepalamu ambyar!”

Jansen beberapa detik berhenti melolong. Lalu melolong lagi. Kali ini dia berhenti mengancam. Hanya minta tolong dan minta ampun.

Sementara itu orang-orang pada berdatangan. Jum juga keluar kamar. Ruang tamu sudah porak poranda. Lantai basah darah dan kuah bakso. Jansen terus melolong merasakan sakitnya. Melihat banyak orang berdatangan, April pergi ke belakang mengambil air dengan ember.

Mulai hari itu setiap orang di pelacuran, dari ujung ke ujung, tahu April. Jadi apabila tengah hari waktu pulang sekolah, sejak dia masuk komplek sampai keluarnya tidak henti-hentinya dia mengangguk-angguk membalas sapaan orang. Itulah imbas dari sebuah aksi. Dan bahkan seorang ibu gembrot ratu bawel yang mulutnya paling jahat se pelacuran jadi terdiam seribu bahasa ketika April lewat dan meliriknya di tengah dia sedang mengomel panjang pendek.

Sabtu, 03 Desember 2011

Aku, tak Ragu

Tuhan,
Aku yakin dengan segala kasih-Mu
Dan aku percaya akan semua sayang-Mu
Namun mengapa aku ini ???
Selalu tak tahu diri
Apakah ada sesuatu yang mengunci hatiku ?!
Sehingga aku lupa akan semua cinta-Mu
Tuhan,
Kau pasti selalu mendekapku
Namun aku tempikkan arti kehangatan-Mu
Apakah aku insan tak tahu balas budi ?!
Kurang bersyukur
Selalu mencari dan berharap yang lebih
Bahkan tanpa terasa dan tak tersadari
Mungkin aku memohon selain kepada-Mu
Tuhan,
Andaikan aku selalu bersujud pada-Mu
Dan bersimpuh di dalam rumah-Mu
Tentu Engkau mau menerima tobatku
Namun aku kadang merasa lain
Karena banyak dosa yang kulakukan

Tuhan,
Aku tahu tangisku tak berarti bagi-Mu !!
Kini biarlah aku merenungi semuanya
Dan akan kucari pintu insyafku
Tapi, aku yakin dan tak meragukan
Akan semua ampunan-Mu, Tuhan.

Sabtu, 12 November 2011

Kisah Perjalanan Cinta yang Mengharukan (istri terbaik)



Cerita ini adalah kisah nyata… dimana perjalanan hidup ini ditulis oleh seorang istri dalam sebuah laptopnya.

Bacalah, semoga kisah nyata ini menjadi pelajaran bagi kita semua.

***

Cinta itu butuh kesabaran…

Sampai dimanakah kita harus bersabar menanti cinta kita???

Hari itu.. aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita...

Aku menjadi perempuan yg paling bahagia...

Pernikahan kami sederhana namun meriah...

Ia menjadi pria yang sangat romantis pada waktu itu.

Aku bersyukur menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan & mapan pula.

Ketika kami berpacaran dia sudah sukses dalam karirnya.

Kami akan berbulan madu di tanah suci, itu janjinya ketika kami berpacaran dulu...

Dan setelah menikah, aku mengajaknya untuk umroh ke tanah suci...

Aku sangat bahagia dengannya, dan dianya juga sangat memanjakan aku… sangat terlihat dari rasa cinta dan rasa sayangnya pada ku.

Banyak orang yang bilang kami adalah pasangan yang serasi. Sangat terlihat sekali bagaimana suamiku memanjakanku. Dan aku bahagia menikah dengannya.


***

Lima tahun berlalu sudah kami menjadi suami istri, sangat tak terasa waktu begitu cepat berjalan walaupun kami hanya hidup berdua saja karena sampai saat ini aku belum bisa memberikannya seorang malaikat kecil (bayi) di tengah keharmonisan rumah tangga kami.

Karena dia anak lelaki satu-satunya dalam keluarganya, jadi aku harus berusaha untuk mendapatkan penerus generasi baginya.

Alhamdulillah saat itu suamiku mendukungku…

Ia mengaggap Allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipan-NYA.

Tapi keluarganya mulai resah. Dari awal kami menikah, ibu & adiknya tidak menyukaiku. Aku sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka, namun aku selalu berusaha menutupi hal itu dari suamiku…

Didepan suami ku mereka berlaku sangat baik padaku, tapi dibelakang suami ku, aku dihina-hina oleh mereka…

Pernah suatu ketika satu tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan, mobilnya hancur. Alhamdulillah suami ku selamat dari maut yang hampir membuat ku menjadi seorang janda itu.

Ia dirawat dirumah sakit pada saat dia belum sadarkan diri setelah kecelakaan. Aku selalu menemaninya siang & malam sambil kubacakan ayat-ayat suci Al – Qur’an. Aku sibuk bolak-balik dari rumah sakit dan dari tempat aku melakukan aktivitas sosial ku, aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan.

Namun saat ketika aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami, aku melihat di dalam kamarnya ada ibu, adik-adiknya dan teman-teman suamiku, dan disaat itu juga.. aku melihat ada seorang wanita yang sangat akrab mengobrol dengan ibu mertuaku. Mereka tertawa menghibur suamiku.

Alhamdulillah suamiku ternyata sudah sadar, aku menangis ketika melihat suami ku sudah sadar, tapi aku tak boleh sedih di hadapannya.

Kubuka pintu yang tertutup rapat itu sambil mengatakan, “Assalammu’alaikum” dan mereka menjawab salam ku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka semua melihatku. Suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah 5 hari mata nya selalu tertutup.

Tangannya melambai, mengisyaratkan aku untuk memegang tangannya erat. Setelah aku menghampirinya, kucium tangannya sambil berkata “Assalammu’alaikum”, ia pun menjawab salam ku dengan suaranya yg lirih namun penuh dengan cinta. Aku pun senyum melihat wajahnya.

Lalu.. Ibu nya berbicara denganku …

“Fis, kenalkan ini Desi teman Fikri”.

Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya, perempuan itu bernama Desi dan dia sangat akrab dengan keluarga suamiku. Hingga akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga. Aku pun langsung berjabat tangan dengannya, tak banyak aku bicara di dalam ruangan tersebut,aku tak mengerti apa yg mereka bicarakan.

Aku sibuk membersihkan & mengobati luka-luka di kepala suamiku, baru sebentar aku membersihkan mukanya, tiba-tiba adik ipar ku yang bernama Dian mengajakku keluar, ia minta ditemani ke kantin. Dan suamiku pun mengijinkannya. Kemudian aku pun menemaninya.

Tapi ketika di luar adik ipar ku berkata, ”lebih baik kau pulang saja, adakami yg menjaga abang disini. Kau istirahat saja. ”

Anehnya, aku tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan alasan abang harus banyak beristirahat dan karena psikologisnya masih labil. Aku berdebat dengannya mempertanyakan mengapa aku tidak diizinkan berpamitan dengan suamiku. Tapi tiba-tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia juga mengatakan hal yang sama. Nantinya dia akan memberi alasan pada suamiku mengapa aku pulang tak berpamitan padanya, toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya salah ataupun tidak, suamiku tetap saja membenarkannya. Akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata.

Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah sakit. Dan aku hanya bisa menangis dalam kesendirianku. Menangis mengapa mereka sangat membenciku.

***

Hari itu.. aku menangis tanpa sebab, yang ada di benakku aku takut kehilangannya, aku takut cintanya dibagi dengan yang lain.

Pagi itu, pada saat aku membersihkan pekarangan rumah kami, suamiku memanggil ku ke taman belakang, ia baru aja selesai sarapan, ia mengajakku duduk di ayunan favorit kami sambil melihat ikan-ikan yang bertaburan di kolam air mancur itu.

Aku bertanya, ”Ada apa kamu memanggilku?”

Ia berkata, ”Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang”

Aku menjawab, ”Ia sayang.. aku tahu, aku sudah mengemasi barang-barang kamu di travel bag dan kamu sudah memeegang tiket bukan?”

“Ya tapi aku tak akan lama disana, cuma 3 minggu aku disana, aku juga sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah dan aku akan pulang dengan mama ku”, jawabnya tegas.

“Mengapa baru sekarang bicara, aku pikir hanya seminggu saja kamu disana?“, tanya ku balik kepadanya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia baru memberitahukan rencana kepulanggannya itu, padahal aku telah bersusah payah mencarikan tiket pesawat untuknya.

”Mama minta aku yang menemaninya saat pulang nanti”, jawabnya tegas.

”Sekarang aku ingin seharian dengan kamu karena nanti kita 3 minggu tidak bertemu, ya kan?”, lanjut nya lagi sambil memelukku dan mencium keningku. Hatiku sedih dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan pada nya.

Bahagianya aku dimanja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang & cintanya walau terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku.

Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama suamiku, tapi karena keluarganya tidak menyukaiku hanya karena mereka cemburu padaku karena suamiku sangat sayang padaku.

Kemudian aku memutuskan agar ia saja yg pergi dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran anggaran rumah tangga kami.

Karena ini acara sakral bagi keluarganya, jadi seluruh keluarganya harus komplit. Walaupun begitu, aku pun tetap tak akan diperdulikan oleh keluarganya harus datang ataupun tidak. Tidak hadir justru membuat mereka sangat senang dan aku pun tak mau membuat riuh keluarga ini.

Malam sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluan yang akan dibawanya ke Sabang, ia menatapku dan menghapus airmata yang jatuh dipipiku, lalu aku peluk erat dirinya. Hati ini bergumam tak merelakan dia pergi seakan terjadi sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis karena akan ditinggal pergi olehnya.

Aku tidak pernah ditinggal pergi selama ini, karena kami selalu bersama-sama kemana pun ia pergi.

Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian dan tidak memiliki teman, karena biasanya hanya pembantu sajalah teman mengobrolku.

Hati ini sedih akan di tinggal pergi olehnya.

Sampai keesokan harinya, aku terus menangis.. menangisi kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesedih ini, perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka. Aku harus percaya apada suamiku. Dia pasti akan selalu menelponku.

***

Berjauhan dengan suamiku, aku merasa sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri. Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadinya aku tak terlalu kesepian ditinggal pergi ke Sabang.

Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami memburuk dan aku pun jatuh sakit. Rahimku terasa sakit sekali seperti di lilit oleh tali. Tak tahan aku menahan rasa sakit dirahimku ini, sampai-sampai aku mengalami pendarahan. Aku dilarikan ke rumah sakit oleh adik laki-lakiku yang kebetulan menemaniku disana. Dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim stadium 3.

Aku menangis.. apa yang bisa aku banggakan lagi..

Mertuaku akan semakin menghinaku, suamiku yang malang yang selalu berharap akan punya keturunan dari rahimku.. namun aku tak bisa memberikannya keturunan. Dan kemudian aku hanya bisa memeluk adikku.

Aku kangen pada suamiku, aku selalu menunggu ia pulang dan bertanya-tanya, “kapankah ia segera pulang?” aku tak tahu..

Sementara suamiku disana, aku tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah jika menelponku. Bagaimana aku akan menceritakan kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku..

Lebih baik aku tutupi dulu tetang hal ini dan aku juga tak mau membuatnya khawatir selama ia berada di Sabang.

Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan cerita padanya. Setiap hari aku menanti suamiku pulang, hari demi hari aku hitung…

Sudah 3 minggu suamiku di Sabang, malam itu ketika aku sedang melihat foto-foto kami, ponselku berbunyi menandakan ada sms yang masuk.

Kubuka di inbox ponselku, ternyata dari suamiku yang sms.

Ia menulis, “aku sudah beli tiket untuk pulang, aku pulangnya satu hari lagi, aku akan kabarin lagi”.

Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak baik ini. Hari yg aku tunggu pun tiba, aku menantinya di rumah.

Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya untuk menyambut suamiku pulang, dan nantinya aku juga akan menyelesaikan masalah komunikasi kami yg buruk akhir-akhir ini.

Bel pun berbunyi, kubukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap salam. Sebelum masuk, aku pegang tangannya kedepan teras namun ia tetap berdiri, aku membungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki dan kucuci kedua kakinya, aku tak mau ada syaithan yang masuk ke dalam rumah kami.

Setelah itu akupun berdiri langsung mencium tangannya tapi apa reaksinya..

Masya Allah.. ia tidak mencium keningku, ia hanya diam dan langsung naik keruangan atas, kemudian mandi dan tidur tanpa bertanya kabarku..

Aku hanya berpikir, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaan nya sampai aku pun tertidur. Malam menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta.

Biasa nya kami selalu berjama’ah, tapi karena melihat nya tidur sangat pulas, aku tak tega membangunkannya.
Aku hanya mengeelus wajahnya dan aku cium keningnya, lalu aku sholat tahajud 8 rakaat plus witir 3 raka’at.


***
Aku mendengar suara mobilnya, aku terbangun lalu aku melihat dirinya dari balkon kamar kami yang bersiap-siap untuk pergi. Lalu aku memanggilnya tapi ia tak mendengar. Kemudian aku ambil jilbabku dan aku berlari dari atas ke bawah tanpa memperdulikan darah yg bercecer dari rahimku untuk mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi.

Aku merasa ada yang aneh dengan suamiku. Ada apa dengan suamiku? Mengapa ia bersikap tidak biasa terhadapku?

Aku tidak bisa diam begitu saja, firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat itu juga aku langsung menelpon kerumah mertuakudan kebetulan Dian yang mengangkat telponnya, aku bercerita dan aku bertanya apa yang sedang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia menjawab, “Loe pikir aja sendiri!!!”. Telpon pun langsung terputus.

Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia kembali dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakan aku.

Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Kami hanya berbicara seperlunya saja, aku selalu diintrogasinya. Selalu bertanya aku dari mana dan mengapa pulang terlambat dan ia bertanya dengan nada yg keras. Suamiku telah berubah.

Bahkan yang membuat ku kaget, aku pernah dituduhnya berzina dengan mantan pacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu, tapi aku selalu ingat.. sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para istri, itu pedoman yang aku pegang.

Aku hanya berdo’a semoga suamiku sadar akan prilakunya.

***

Dua tahun berlalu, suamiku tak kunjung berubah juga. Aku menangis setiap malam, lelah menanti seperti ini, kami seperti orang asing yang baru saja berkenalan.

Kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna. Walaupun kondisinya tetap seperti itu, aku tetap merawatnya & menyiakan segala yang ia perlukan. Penyakitkupun masih aku simpan dengan baik dan sekalipun ia tak pernah bertanya perihal obat apa yang aku minum. Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun telah aku pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir.

Bersyukurlah.. aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorang guru ngaji, jadi aku tak perlu meminta uang padanya hanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku.

Sungguh.. suami yang dulu aku puja dan aku banggakan, sekarang telah menjadi orang asing bagiku, setiap aku bertanya ia selalu menyuruhku untuk berpikir sendiri. Tiba-tiba saja malam itu setelah makan malam usai, suamiku memanggilku.

“Ya, ada apa Yah!” sahutku dengan memanggil nama kesayangannya “Ayah”.

“Lusa kita siap-siap ke Sabang ya.” Jawabnya tegas.

“Ada apa? Mengapa?”, sahutku penuh dengan keheranan.

Astaghfirullah.. suami ku yang dulu lembut tiba-tiba saja menjadi kasar, dia membentakku. Sehingga tak ada lagi kelanjutan diskusi antara kami.

Dia mengatakan ”Kau ikut saja jangan banyak tanya!!”

Lalu aku pun bersegera mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke Sabang sambil menangis, sedih karena suamiku kini tak ku kenal lagi.

Dua tahun pacaran, lima tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula ia menjadi orang asing buatku. Ku lihat kamar kami yg dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto pernikahan kami, sekarang menjadi dingin.. sangat dingin dari batu es. Aku menangis dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak berteriak, tapi aku tak bisa.

Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting barang-barang. Dia bilang perbuatan itu menunjukkan sikap ketidakhormatan kepadanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini, dalam kesendirianku..

***

Kami telah sampai di Sabang, aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur karena terus berpikir. Keluarga besarnya juga telah berkumpul disana, termasuk ibu & adik-adiknya. Aku tidak tahu ada acara apa ini..

Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam kamar tua itu, ia pun langsung keluar bergabung dengan keluarga besarnya.

Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dalam lemari tua yg berada di dekat pintu kamar, lemari tua yang telah ada sebelum suamiku lahir tiba-tiba Tante Lia, tante yang sangat baik padaku memanggil ku untuk bersegera berkumpul diruang tengah, aku pun menuju ke ruang keluarga yang berada ditengah rumah besar itu, yang tampak seperti rumah zaman peninggalan belanda.

Kemudian aku duduk disamping suamiku, dan suamiku menunduk penuh dengan kebisuan, aku tak berani bertanya padanya.

Tiba-tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling berhak atas semuanya, membuka pembicaraan.

“Baiklah, karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan kau Fisha”. Neneknya berbicara sangat tegas, dengan sorot mata yang tajam.

”Ada apa ya Nek?” sahutku dengan penuh tanya..

Nenek pun menjawab, “Kau telah bergabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun, sampai saat ini kami tak melihat tanda-tanda kehamilan yang sempurna sebab selama ini kau selalu keguguran!!“.

Aku menangis.. untuk inikah aku diundang kemari? Untuk dihina ataukah dipisahkan dengan suamiku?

“Sebenarnya kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu.. sebelum kau menikah dengannya. Tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur,dan akhirnya menikahlah ia dengan kau.” Neneknya berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu semua.

Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya.

“Dan aku dengar dari ibu mertuamu kau pun sudah berkenalan dengannya”, neneknya masih melanjutkan pembicaraan itu.

Sedangkan suamiku hanya terdiam saja, tapi aku lihat air matanya. Ingin aku peluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian itu.
Neneknya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari ucapannya dengan mimik wajah yang sangat menantang kemudian berkata, “kau maunya gimana? kau dimadu atau diceraikan?“

MasyaAllah.. kuatkan hati ini.. aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan remuk mendengarnya, hancur hatiku. Mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku..

Aku selalu munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulaukayu, mereka mengira aku sangat bahagia 2 tahun belakangan ini.

“Fish, jawab!.” Dengan tegas Ibunya langsung memintaku untuk menjawab.

Aku langsung memegang tangan suamiku. Dengan tangan yang dingin dan gemetar aku menjawab dengan tegas.

”Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi dengannya melalui bathiniah, untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami.”

Itu yang aku jawab, dengan kata lain aku rela cintaku dibagi. Dan pada saat itu juga suamiku memandangku dengan tetesan air mata, tapi air mataku tak sedikit pun menetes di hadapan mereka.

Aku lalu bertanya kepada suamiku, “Ayah siapakah yang akan menjadi sahabatku dirumah kita nanti, yah?”

Suamiku menjawab, ”Dia Desi!”

Aku pun langsung menarik napas dan langsung berbicara, ”Kapan pernikahannya berlangsung? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini Nek?.”

Ayah mertuaku menjawab, “Pernikahannya 2 minggu lagi.”

”Baiklah kalo begitu saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruhnya mengurus KK kami ke kelurahan besok”, setelah berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke kamar.

Tak tahan lagi.. air mata ini akan turun, aku berjalan sangat cepat, aku buka pintu kamar dan aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri disini. Tak kuat rasanya menerima hal ini, cintaku telah dibagi. Sakit. Diiringi akutnya penyakitku..

Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama 2 tahun belakangan ini?

Aku berjalan menuju ke meja rias, kubuka jilbabku, aku bercermin sambil bertanya-tanya, “sudah tidak cantikkah aku ini?“

Ku ambil sisirku, aku menyisiri rambutku yang setiap hari rontok. Kulihat wajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi, rambutku sudah hampir habis.. kepalaku sudah botak dibagian tengahnya.

Tiba-tiba pintu kamar ini terbuka, ternyata suamiku yang datang, ia berdiri dibelakangku. Tak kuhapus air mata ini, aku bersegera memandangnya dari cermin meja rias itu.

Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan, “terima kasih ayah, kamu memberi sahabat kepada ku. Jadi aku tak perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti! Iya kan?.”

Suamiku mengangguk sambil melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia tersenyum dan bertanya kenapa rambutku rontok, dia hanya mengatakan jangan salah memakai shampo.

Dalam hatiku bertanya, “mengapa ia sangat cuek?” dan ia sudah tak memanjakanku lagi. Lalu dia berkata, “sudah malam, kita istirahat yuk!“

“Aku sholat isya dulu baru aku tidur”, jawabku tenang.

Dalam sholat dan dalam tidur aku menangis. Ku hitung mundur waktu, kapan aku akan berbagi suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku.

Aku tak tahu kalau Desi orang Sabang juga. Sudahlah, ini mungkin takdirku. Aku ingin suamiku kembali seperti dulu, yang sangat memanjakan aku atas rasa sayang dan cintanya itu.

***

Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku.

Di laptop aku menulis saat-saat terakhirku melihat suamiku, aku marah pada suamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang sedang tidur pulas, apa salahku? sampai ia berlaku sekejam itu kepadaku. Akusave di mydocument yang bertitle “Aku Mencintaimu Suamiku.”

Hari pernikahan telah tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar. Aku berdiri didekat jendela, aku melihat matahari, karena mungkin saja aku takkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama.. lalu suamiku yang telah siap dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku.

“Apakah kamu sudah siap?”

Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata :

“Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk kedalam rumah ini, cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci kakiku dulu, lalu ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin bacakan do’a di ubun-ubunnya sebagaimana yang kamu lakukan padaku dulu. Lalu setelah itu..”, perkataanku terhenti karena tak sanggup aku meneruskan pembicaraan itu, aku ingin menagis meledak.

Tiba-tiba suamiku menjawab “Lalu apa Bunda?”

Aku kaget mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk seketika aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar-binar…

“Bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan?”, pintaku tuk menyakini bahwa kuping ini tidak salah mendengar.

Dia mengangguk dan berkata, ”Baik bunda akan ayah ulangi, lalu apa bunda?”, sambil ia mengelus wajah dan menghapus airmataku, dia agak sedikit membungkuk karena dia sangat tinggi, aku hanya sedadanya saja.

Dia tersenyum sambil berkata, ”Kita liat saja nanti ya!”. Dia memelukku dan berkata, “bunda adalah wanita yang paling kuat yang ayah temui selain mama”.

Kemudian ia mencium keningku, aku langsung memeluknya erat dan berkata, “Ayah, apakah ini akan segera berakhir? Ayah kemana saja? Mengapa Ayah berubah? Aku kangen sama Ayah? Aku kangen belaian kasih sayang Ayah? Aku kangen dengan manjanya Ayah? Aku kesepian Ayah? Dan satu hal lagi yang harus Ayah tau, bahwa aku tidak pernah berzinah! Dulu.. waktu awal kita pacaran, aku memang belum bisa melupakannya, setelah 4 bulan bersama Ayah baru bisa aku terima, jika yang dihadapanku itu adalah lelaki yang aku cari. Bukan berarti aku pernah berzina Ayah.” Aku langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku sambil berkata, ”Aku minta maaf Ayah, telah membuatmu susah”.

Saat itu juga, diangkatnya badanku.. ia hanya menangis.

Ia memelukku sangat lama, 2 tahun aku menanti dirinya kembali. Tiba-tiba perutku sakit, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres denganku dan ia bertanya, ”bunda baik-baik saja kan?” tanyanya dengan penuh khawatir.

Aku pun menjawab, “bisa memeluk dan melihat kamu kembali seperti dulu itu sudah mebuatku baik, Yah. Aku hanya tak bisa bicara sekarang“. Karena dia akan menikah. Aku tak mau membuat dia khawatir. Dia harus khusyu menjalani acara prosesi akad nikah tersebut.

***

Setelah tiba dimasjid, ijab-qabul pun dimulai. Aku duduk diseberang suamiku.

Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu, membuat hati ini cemburu, ingin berteriak mengatakan, “Ayah jangan!!”, tapi aku ingat akan kondisiku.

Jantung ini berdebar kencang saat mendengar ijab-qabul tersebut. Begitu ijab-qabul selesai, aku menarik napas panjang. Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku. Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan hati ini. Ya… aku kuat.

Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding dipelaminan. Orang-orang yang hadir di acara resepsi itu iba melihatku, mereka melihatku dengan tatapan sangat aneh, mungkin melihat wajahku yang selalu tersenyum, tapi dibalik itu.. hatiku menangis.

Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja. Tak mencuci kakinya. Aku sangat heran dengan perilakunya. Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan ini?

Sementara itu Desi disambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak seperti aku dahulu, yang di musuhi.

Malam ini aku tak bisa tidur, bagaimana bisa? Suamiku akan tidur dengan perempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak tahu apa yang sedang mereka lakukan didalam sana.

Sepertiga malam pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk berwudhu, lalu aku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur disofa ruang tengah. Kudekati lalu kulihat. Masya Allah.. suamiku tak tidur dengan wanita itu, ia ternyata tidur disofa, aku duduk disofa itu sambil menghelus wajahnya yang lelah, tiba-tiba ia memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget.

“Kamu datang ke sini, aku pun tahu”, ia berkata seperti itu. Aku tersenyum dan megajaknya sholat lail. Setelah sholat lail ia berkata, “maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu, kamu menderita karena ego nya aku. Besok kita pulang ke Jakarta, biar Desi pulang dengan mama, papa dan juga adik-adikku”

Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untuk istirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi. Ya Allah.. apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku sekarang ini, karena aku telah merasakan kehadirannya saat ini. Tapi.. masih bisakah engkau ijinkan aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama 2 tahun ini..

Suamiku berbisik, “Bunda kok kurus?”

Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan.

Aku pun berkata, “Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi?”

”Aku kangen sama kamu Bunda, aku tak mau menyakitimu lagi. Kamu sudah sering terluka oleh sikapku yang egois.” Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu.

Lalu suamiku berkata, ”Bun, ayah minta maaf telah menelantarkan bunda.. Selama ayah di Sabang, ayah dengar kalau bunda tidak tulus mencintai ayah, bunda seperti mengejar sesuatu, seperti mengejar harta ayah dan satu lagi.. ayah pernah melihat sms bunda dengan mantan pacar bunda dimana isinya kalau bunda gak mau berbuat “seperti itu” dan tulisan seperti itu diberi tanda kutip (“seperti itu”). Ayah ingin ngomong tapi takut bunda tersinggung dan ayah berpikir kalau bunda pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu ayah, terus ayah dimarahi oleh keluarga ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda”


Hati ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada kepercayaan di dirinya, hanya karena omongan keluarganya yang tidak pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini.

Aku hanya menjawab, “Aku sudah ceritakan itu kan Yah. Aku tidak pernah berzinah dan aku mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa aku memilih kamu? Padahal banyak lelaki yang lebih mapan darimu waktu itu Yah. Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena menderita mencintaimu.“

Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian dikamar pengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan berusaha memaafkannya beserta sikap keluarganya juga.

Karena aku tak mau mati dalam hati yang penuh dengan rasa benci.

***

Keesokan harinya…

Ketika aku ingin terbangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimku sakit sekali.. aku mengalami pendarahan dan suamiku kaget bukan main, ia langsung menggendongku.

Aku pun dilarikan ke rumah sakit..

Dari kejauhan aku mendengar suara zikir suamiku..

Aku merasakan tanganku basah..

Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran.

Ia menggenggam tanganku dengan erat.. Dan mengatakan, ”Bunda, Ayah minta maaf…”

Berkali-kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku?

Aku berkata dengan suara yang lirih, ”Yah, bunda ingin pulang.. bunda ingin bertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana ya, Yah..”

“Ayah jangan berubah lagi ya! Janji ya, Yah… !!! Bunda sayang banget sama Ayah.”

Tiba-tiba saja kakiku sakit sangat sakit, sakitnya semakin keatas, kakiku sudah tak bisa bergerak lagi.. aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. Kulihat wajahnya yang tampan, berlinang air mata.

Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengan kalimat tahlil.

Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku..

Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka..

Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kami menikah.

Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafasku.

Untuk Ibu mertuaku : “Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan anakmu sampai aku hidup didalam hati anakmu, ketahuilah Ma.. dari dulu aku selalu berdo’a agar Mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku didepan suamiku, apa engkau punya buktinya Ma? Mengapa engkau sangat cemburu padaku Ma? Fikri tetap milikmu Ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, dari dulu aku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku. Dengan Desi kau sangat baik tetapi denganku menantumu kau bersikap sebaliknya.”

***

Setelah ku buka laptop, kubaca curhatan istriku.

=====================================================

Ayah, mengapa keluargamu sangat membenciku?

Aku dihina oleh mereka ayah.

Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu?

Pernah suatu ketika aku bertemu Dian di jalan, aku menegurnya karena dia adik iparku tapi aku disambut dengan wajah ketidaksukaannya. Sangat terlihat Ayah..

Tapi ketika engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis dan ia memanggilku dengan panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu ayah?

Aku tak bisa berbicara tentang ini padamu, karena aku tahu kamu pasti membela adikmu, tak ada gunanya Yah..

Aku diusir dari rumah sakit.

Aku tak boleh merawat suamiku.

Aku cemburu pada Desi yang sangat akrab dengan mertuaku.

Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku.

Aku sangat marah..

Jika aku membicarakan hal ini pada suamiku, ia akan pasti membela Desi danibunya..

Aku tak mau sakit hati lagi.

Ya Allah kuatkan aku, maafkan aku..

Engkau Maha Adil..

Berilah keadilan ini padaku, Ya Allah..

Ayah sudah berubah, ayah sudah tak sayang lagi pada ku..

Aku berusaha untuk mandiri ayah, aku tak akan bermanja-manja lagi padamu..

Aku kuat ayah dalam kesakitan ini..

Lihatlah ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku..

Aku bisa melakukan ini semua sendiri ayah..

Besok suamiku akan menikah dengan perempuan itu.

Perempuan yang aku benci, yang aku cemburui.

Tapi aku tak boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku.

Aku harus sadar diri.

Ayah, sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu.

Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku?

Ayah.. aku masih tak rela.

Tapi aku harus ikhlas menerimanya.

Pagi nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya.

Semoga saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku.

Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir.

Sebelum ajal ini menjemputku.

Ayah.. aku kangen ayah..

=====================================================

Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu, Bunda..

Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi di Pulau Kayu ini.

Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkan keceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri.

Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur.

Bunda akan selalu hidup dihati ayah.

Bunda.. Desi tak sepertimu, yang tidak pernah marah..

Desi sangat berbeda denganmu, ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutku tak pernah di creambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya.

Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit pun aku tak perduli, hidup dalam kesendirianmu..

Seandainya Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin ayah masih bisa tidur dengan belaian tangan Bunda yang halus.

Sekarang Ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda..

Bunda, kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui.

Aku menyesal telah asik dalam ke-egoanku..

Bunda.. maafkan aku.. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat di tidurmu yang panjang.

Maafkan aku, tak bisa bersikap adil dan membahagiakanmu, aku selalu meng-iyakan apa kata ibuku, karena aku takut menjadi anak durhaka. Maafkan aku ketika kau di fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja.

Apakah Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana?

Apakah Bunda tetap menanti ayah disana? Tetap setia dialam sana?

Tunggulah Ayah disana Bunda..

Bisakan? Seperti Bunda menunggu ayah di sini.. Aku mohon..

Ayah Sayang Bunda..


( Copast dari temen .. )

Jumat, 16 Desember 2011

PRIBADI yang di CARI

0 komentar
all people have something like it or not, especially about ourselves ... personality ... if you have a personality?

Ketulusan
Ketulusan menempati peringkat pertama sebagai sifat yang paling disukai oleh semua orang. Ketulusan membuat orang lain merasa aman dan dihargai karena yakin tidak akan dibodohi atau dibohongi. Orang yang tulus selalu mengatakan kebenaran, tidak suka mengada-ada, pura- pura, mencari-cari alasan atau memutarbalikkan fakta. Prinsipnya “Ya diatas Ya dan Tidak diatas Tidak”. Tentu akan lebih ideal bila ketulusan yang selembut merpati itu diimbangi dengan kecerdikan seekor ular. Dengan begitu, ketulusan tidak menjadi keluguan yang bisa merugikan diri sendiri.

Kerendahan Hati
Berbeda dengan rendah diri yang merupakan kelemahan, kerendah hatian justru mengungkapkan kekuatan. Hanya orang yang kuat jiwanya yang bisa bersikap rendah hati. Ia seperti padi yang semakin berisi semakin menunduk. Orang yang rendah hati bisa mengakui dan menghargai keunggulan orang lain. Ia bisa
membuat orang yang diatasnya merasa oke dan membuat orang yang di bawahnya tidak merasa minder.

Kesetiaan
Kesetiaan sudah menjadi barang langka & sangat tinggi harganya. Orang yang setia selalu bisa dipercaya dan diandalkan. Dia selalu menepati janji, punya komitmen yang kuat, rela berkorban dan tidak suka berkhianat.

Positive Thinking
Orang yang bersikap positif (positive thinking) selalu berusaha melihat segala sesuatu dari kacamata positif, bahkan dalam situasi yang buruk sekalipun. Dia lebih suka membicarakan kebaikan daripada keburukan orang lain, lebih suka bicara mengenai harapan daripada keputusasaan, lebih suka mencari solusi daripada frustasi, lebih suka memuji daripada mengecam, dan sebagainya.

Keceriaan
Karena tidak semua orang dikaruniai temperamen ceria, maka keceriaan tidak harus diartikan ekspresi wajah dan tubuh tapi sikap hati. Orang yang ceria adalah orang yang bisa menikmati hidup, tidak suka mengeluh dan selalu berusaha meraih kegembiraan. Dia bisa mentertawakan situasi, orang lain, juga dirinya sendiri. Dia punya potensi untuk menghibur dan mendorong semangat orang lain.

Bertanggung jawab
Orang yang bertanggung jawab akan melaksanakan kewajibannya dengan sungguh-sungguh. Kalau melakukan kesalahan, dia berani mengakuinya. Ketika mengalami kegagalan, dia tidak akan mencari kambing hitam untuk disalahkan. Bahkan kalau dia merasa kecewa dan sakit hati, dia tidak akan menyalahkan siapapun. Dia menyadari bahwa dirinya sendirilah yang bertanggung jawab atas apapun yang dialami dan dirasakannya.

Percaya Diri
Rasa percaya diri memungkinkan seseorang menerima dirinya sebagaimana adanya, menghargai dirinya dan menghargai orang lain. Orang yang percaya diri mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi yang baru. Dia tahu apa yang harus dilakukannya dan melakukannya dengan baik.

Kebesaran Jiwa
Kebesaran jiwa dapat dilihat dari kemampuan seseorang memaafkan orang lain. Orang yang berjiwa besar tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa benci dan permusuhan. Ketika menghadapi masa- masa sukar dia tetap tegar, tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan dan keputusasaan.

Easy Going
Orang yang easy going menganggap hidup ini ringan. Dia tidak suka membesar-besarkan masalah kecil. Bahkan berusaha mengecilkan masalah-masalah besar. Dia tidak suka mengungkit masa lalu dan tidak mau khawatir dengan masa depan. Dia tidak mau pusing dan stress dengan masalah-masalah yang berada di luar kontrolnya.

Empati
Empati adalah sifat yang sangat mengagumkan. Orang yang berempati bukan saja pendengar yang baik tapi juga bisa menempatkan diri pada posisi orang lain. Ketika terjadi konflik dia selalu mencari jalan keluar terbaik bagi kedua belah pihak, tidak suka memaksakan pendapat dan kehendaknya sendiri. Dia selalu berusaha memahami dan mengerti orang lain.

'' APRIL DI PELACURAN ''

0 komentar
Karena merasa jauh lebih dekat dan teduh, sudah sejak dulu-dulu April memilih rute untuk pergi dan pulang sekolah pada jalanan yang melewati pelacuran. Dia enggan menuruti instruksi kakek-neneknya yang mengarahkannya ke rute yang lebih “bermoral” yaitu jalanan aspal yang memutar melewati pertokoan dan lain-lain. Sebabnya disamping lebih jauh dan panas, telapak kaki April jadi seperti menginjak bara rasanya karena dia punya kebiasaan mencopot sepatunya ketika pulang sekolah.

Sebenarnya yang mengenalkan rute ”hidung belang” ini kakeknya juga. Ketika di awal-awal kelas 1, waktu umurnya baru enam setengah tahun. Saat dia masih diantar jemput kakek. Mereka lewat rute yang jauh, tentu saja. Tetapi ada satu waktu, karena satu keperluan yang menuntut harus pulang buru-buru, kakek menggandengnya lewat rute pelacuran supaya cepat sampai rumah. Kakeknya waktu itu menimbang bahwa toh April masih kecil, ingatan belum akurat. Masa iya sih akan bisa ingat lagi kalau hanya sekali saja melewati. Tetapi nyatanya dugaannya keliru. April jauh lebih cerdas daripada yang beliau kira. Ingatan April kecil lebih akurat dibandingkan anjing gembala Jerman.

Ketika April sudah dilepas pergi-pulang sendiri, langsung saja dia memlih rute pelacuran. Sudah barang tentu dia sampai di rumah jadi lebih cepat.

Kakeknya bertanya, “Lewat mana kamu tadi, Pril?“

Dengan polos April menjawab, “Lewat jalan tanah itu, Kek. Yang banyak pepohonan. Yang ada sungai kecil di sebelah ujungnya.”

Kakek April terkesiap. Beliau tahu jalan mana itu. “Lhoo, April tidak boleh lewat jalan itu. Nanti kamu bisa tersesat. Jalan-jalan di sana tidak keruan. Banyak belok-belok. April lewat jalan besar saja, ya. Jangan lewat sana lagi.”

April lantas paham jikalau kakeknya tidak mau dia lewat jalan yang teduh dan dekat itu. Tetapi April tidak perduli. Dia yakin kalau dia tidak mungkin tersesat. Oleh karena itu setiap pulang sekolah dia meluangkan main-main sebentar di sekolah sebelum pulang. Dan sesampainya di rumah, ketika ditanya lagi oleh kakek mengenai jalan mana yang di ambil, April bilang lewat jalan besar. Lewat toko-toko. Setelah beberapa kali menanya guna meyakinkan, kakek tidak risau lagi. Beliau segera lupa masalah rute cucunya.

Dulu sewaktu masih kelas satu, dua, dan tiga, April masih jarang sekali melihat lonte ketika dia lewat sana. Hampir semua dari mereka masih tidur kecapaian. Tapi setelah kelas 4, ketika anak-anak pulang jam setengah satu, April mulai melihat lebih banyak perempuan. Berkeleleran hanya berkain dan berkutang, merokok-rokok, malas-malasan di beranda rumah-rumah kayu yang dilewatinya. April tidak ambil pusing soal bermunculannya kaum hawa tersebut. Perempuan-perempuan itu juga tidak ambil pusing soal April setiap hari lewat di depan mereka.

Hingga sampai pada suatu siang. Siang yang bersejarah karena mulai dari siang itu April mulai berinteraksi dengan lonte. Terutama dengan Jumiati dan beberapa temannya.

Seperti biasa April yang hitam mungil sedang berjalan pulang di lewat tengah hari yang terik. Dia sudah berjalan beberapa puluh meter  di jalan tanah komplek pelacuran. Tiba-tiba  jeritan perempuan melengking dari sebuah rumah beberapa meter di depannya. Disusul tiga perempuan berhamburan keluar. Mereka bergidik-gidik ngeri.

Sampai di perempuan-perempuan yang sedang bergidik-gidik itu April berhenti dan bertanya, ”Ada apa, Mbak?”

”Iiiii, ular! Ular di dalam sana tuh! Iiiii, ular belang.” Dijawab Jumiati sambil ngeri berjingkrak-jingkrak.

”Ular? Mana ular?” April melongok jelalatan ke dalam ruang tamu rumah yang dituding-tuding sedang digerayangi ular.

Jumiati mencengkram lengannya menahan, ”Eiiii, jangan coba-cobaa! Bisanya ganas yang seperti itu!” April mengibas cengkramannya dan melihat lebih teliti. Dilihatnya ular belang hitam putih sebesar kelingking orang dewasa sedang meliuk-liuk di lantai semen ruang tamu. Seekor ular kesasar.

Yang ada di pikiran April, ular adalah hewan berbisa dan harus dipindahkan. Supaya perempuan-perempuan itu tidak ketakutan lagi. Dari itu dia mendapatkan sebatang ranting dan dengan tenang dia lantas melangkah masuk ke arena tempat ular meliuk-liuk bingung. Perempuan-perempuan yang sedang ngeri terpana melihat perbuatan tabah dan berani dari anak kecil berbaju putih celana merah.

Dekat dengan ular, April membungkuk. Ditotokkan ranting di dekat bagian tengah ular kemudian ranting disonteknya sehingga si ular menggelantung lewat badannya pada ranting. Bergegas tapi tetap kalem April membawa ranting yang diganduli ular keluar dan seterusnya berjalan tanpa menoleh. Dia terus menuju ke kali yang berada sisi ujung pelacuran. Di sana ular dilentingkannya jauh-jauh ke seberang kali kembali ke semak-semak. Sudah itu dia langsung melanjutkan perjalanannya pulang.

Esok siangnya ketika April lewat rumah yang digerayangi ular, Jumiati memanggilnya. Jumiati memang tinggal di situ. ”Nang,  kemari sebentar.” April mendekat ke perempuan duduk di kursi di beranda. ”Siapa namamu?” Yang ditanya memberikan namanya. Keduanya saling menatap. April melihat lebih jelas bahwasanya perempuan pertengahan dua puluhan yang mengajaknya bicara berwajah manis berambut hitam kelam panjang berombak. Kulitnya sawo matang.

”Tidak takut ular?” Tanya Jum lagi.

”Takut.”

”Kenapa kemarin berani?”

”Harus hati-hati. Jangan sampai kena gigit.”

Ketika Jumiati menawarkan Indomie rebus sebagai upah keberaniannya membuang ular, April tidak menolak. Dari itu Jumiati memintanya duduk menunggu sementara dia memasak dan datang dua perempuan lain yang rupanya peserta ketakutan ular belang hari sebelumnya.

Mereka menyanjung puja April lapar yang sedang berharap mie lekas datang. Dalam menanggapi sanjung pujanya dia hanya nyengir-nyengir saja. Atau kadang menjawab sepatah dua patah kata atas apa yang ditanyakan kedua perempuan. Ditanya dimana tinggalnya, dia tunjukkan. Ditanya tentang orang tuanya, dijawab ada dia punya ibu kerja di Arab. Lalu tinggal dengan siapa, dijawab dengan kakek dan nenek.

Nah sejak hari itu April menjadi teman kecil Jumiati. Hampir setiap waktu pulang sekolah mereka bertemu. Sering April mampir dan ada saja makanan yang ditawarkan oleh Jumiati kepadanya. April tidak pernah menolak. Sebagai balasan, April yang tahu diri menawarkan apa yang bisa ia bantu untuk Jumiati. Dari itu April-pun  paham bahwsanya Jum paling gemar diinjak-injak punggungnya. Jadi habis makan-makan, mereka sering lalu masuk kamar.

Dua kawan Jumiati pun kadang ikut-ikutan minta diinjak juga. Istilahnya minta ”ngamar” dengan April. Untuk mereka April juga bersedia. April menggeleng hanya ketika dia disodori uang.

Pertemanan berlangsung tanpa putus. Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Makin besar April makin banyak hal-hal yang bisa dilakukannya untuk membantu. Dia bisa mengecat. Memasang bola lampu. Merapikan sambungan-sambungan kabel listrik, atau pekerjaan-pekerjaan rumah tangga lain yang bisa dikerjakan anak laki-laki.

Jumiati punya rasa sayang yang tulus kepada April. Sementara April secara tidak sadar juga menyayanginya laksana figur ibu. Jumiati sakit, April yang mengerik. Jika sakitnya sedikit berat, April memasakkan bubur. Menyuapinya, menjagainya.

Kakek lama-lama mencium situasi, jika April berteman dengan lonte-lonte. Beliau jelas resah pada awalnya. Sampai-sampai, karena beliau tidak tahan lagi, April dipanggilnya. Waktu itu April sudah kelas enam menjelang lulus.

Dalam keadaan hanya berdua kakek bertanya, ”Pril, April tahu apa itu lonte?”

”Tahu, Kek.” Ekspresi April datar-datar saja.

”Apa coba?” Kakek penasaran pada definisi cucunya.

”Perempuan yang disetubuhi laki-laki iseng demi uang.” Kakek kaget kagum dengan definisi April yang terus terang. April bilang lagi, ”Orang-orang yang tidak iseng melihat lonte seperti sampah. Perempuan rusak. Tapi sering bersama mereka, April lihat biasa-biasa saja, Kek. Sama seperti kita makan nasi juga. Malah April selalu dipujikan amit-amit jika sampai seperti tamu-tamu yang ngamar dengan mereka.”

”April tidak takut dihina orang gara-gara berteman dengan lonte?”

”Tidak, Kek. April tidak sedang berbuat jahat. Dan tidak merugikan orang. Bukannya Kakek yang mengajarkan untuk selalu baik dengan sesama?” Dengan pertanyaan ini kakek terdiam beberapa saat.

Akhirnya kakek bilang, ”Ya sudah, teruslah berlaku baik dengan sesama.” Diteruskan dengan membicarakan lain soal daripada lonte.

Mengikuti waktu dan peristiwa,  terjadilah satu kejadian besar di pelacuran. Kejadian yang melibatkan April di dalamnya. Kejadian yang terjadi ketika April kelas dua SMP.

Menepati janjinya, sepulang sekolah April datang. Dia hendak bikin betul setrikaan Jum yang katanya tidak mau panas walau sudah terhubung ke listrik. Saat masuk di rumah Jum tidak ada menyambut. Tetapi melihat setrikaan yang sudah ada di meja ruang tamu, April langsung memastikan bahwa Jum ada dan sedang ngamar.

Benar saja. Ketika April grasak-grusuk menaruh alat-alat di lantai, mempersiapkan apa yang harus dikerjakannya, Jum berseru dari dalam kamar, ”Pril? Kamukah itu?”

”Iya.” April menjawab.

”Makan dulu, Pril, sebelum kerja. Pesan bakso saja sana.” Memang ada penjual bakso dorongan yang biasa stop menunggu pembeli beberapa meter dari rumah.

“Iya.” April menaruh semuanya dan bangkit pergi keluar ke tukang bakso. Tak lama dia kembali dan ngelepos lagi membongkar setrikaan.

Tukang bakso datang membawa nampan kayu dengan semangkuk bakso, wadah sambal, dan kecap serta cuka bertahta di atasnya. ”Pril, ini baksonya.”

April menyongsong. Membubuhkan banyak sambal di mangkuk. Memancrutkan kecap dan cuka secukupnya. Tukang bakso berlalu, April duduk di kursi, makan bakso.

Tidak sangka hari ini sambal lebih pedas dari biasanya. Meski April suka pedas, tapi dia telah bubuhkan sambal pedas itu banyak-banyak mengingat biasanya takaran segitu baru terasa. Jadi sekarang dia megap-megap kepedasan. Dari itu diputuskan untuk memakan isinya saja. Kuah yang biasanya tandas, sekarang disisakan hampir seluruhnya.

Selesai makan minum April kembali ke lantai. Meneruskan reparasinya.

Belum lagi lima menit April bekerja, terdengar langkah memasuki rumah. Yang datang adalah Jansen. Preman hidung belang yang sering berkeliaran di pelacuran. Dia datang dalam keadaan mabuk tanggung. Dan dalam keadaaan itu bisa dipastikan bahwa orang bernama Jansen ini selalu reseh. Benar saja. Dengan tanpa menghiraukan April yang sedang berkutat dengan setrikaan, Jansen menghampiri pintu kamar Jumiati di belakang punggung April. Pintu kamar digedor-gedornya sekuat tenaga. ”Buka! Bukaa, Sundal busuk! Kau janji selalu siap untukku!”

Gerendel pintu ditarik, Jumiati membukanya sedikit, ”Sebentar, Bang...”

Belum selesai Jumiati bicara, Jansen menjambak rambut tebal Jum yang saat itu sedikit awut-awutan karena cinta sesaat. Dijambak dan ditariknya sehingga Jum mengaduh kesakitan. Jansen berteriak parau, ”Sekarang, Sundal! Lempar yang di dalam keluar. Aku gantikan!”

Mendengar Jum terus mengaduh kesakitan, April bangun dan menggapai Jansen mencoba menghentikan kelakuan buasnya, ”Bang, Bang, sudah. Tunggu saja dulu.”

Tangan kanan Jansen yang menjambak Jum memang dilepaskannya. Tapi lantas tangan besar preman itu dipakai untuk mendorong dan membanting April sehingga mukanya telak mendarat di lantai. Sementara itu Jum menggunakan kesempatan alih perhatian ini guna menutup pintu dan menggerendelnya lagi.

April kesakitan sampai keluar sedikit air mata dengan hidungnya menabok lantai. Kepalanya digeleng-geleng untuk mengibas rasa sakit. Jansen kembali menggedor-gedor pintu Jum.

Saat April sedikit pulih dari pening dan linu di tulang hidungnya, pandangnya menumbuk ke cutter baru yang tergeletak di dekatnya bersama obeng, isolasi dan lain lain. Secara reflek cutter dipungutnya dan bilah pengiris dikeluarkannya penuh. Suara krekk cutter menjulur kalah dengan suara gedoran pintu.

Semuanya berlangsung cepat sekali. Dengan didahului melirik dulu sasarannya, sekuat tenaga April membabatkan cutter ke pergelangan kaki kanan Jansen yang hanya memakai sendal kulit. Swugg. Bagian bawah jeans Jansen yang menutup kulit kakinya terrrobek lurus, lalu giliran bagian belakang  mata kaki. Satu otot utama sebesar kelingking yang dalam istilah anatomi bernama tendon achilles.

Cutter baru, tenaga sabetan anak empat belas tahun yang berdarah dingin sudah cukup untuk mengiris sebuah tendon achilles hingga putus sama sekali. Beberapa detik cidera fatal itu belum terasakan oleh Jansen. Dia sempat merasa sesuatu menyayat pergelangan kaki, dan dia tahu itu perbuatan April, maka dia lalu kembali berbalik ke April untuk menyiksanya.

Melihat ancaman April bangun dari lantai dan menjauh. Dia berada di dekat meja sekarang. Melihat mangsanya menghindar Jansen makin berang ceperti celeng luka. Dia ambil ancang-ancang untuk menubruk April mungil yang sedang terpaku fokus menanti gerakan musuhnya.

Salah satu otot terpenting yang membuat manusia manusia bisa melompat berjingkat adalah tendon achilles yang di atas tumit di belakang mata kaki. Manakala otot ini putus, daya jingkat kaki berkurang drastis. Sama halnya dengan Jansen. Dia mencoba menggapai April dengan memanfaatkan kaki kanannya sebagai tumpuan dia meloncat. Tetapi apa daya, dia tidak tahu bahwa sesungguhnya kaki kanannya sudah tidak berkekuatan jungkit lagi dengan putusnya tendon. Maka tahu-tahu dia ambruk beralaskan kedua lututnya. Dan rasa sakit hebat dari pergelangan kaki kanan mulai menyerang.

Bukannya menghentikan usahanya menyerang, Jansen malah mencoba bangkit lagi hendak menerkam April sambil berteriak keras. April yang terpojok hanya bisa meraih mangkuk bakso yang tinggal tersisa kuah dan menyiramkannya secara pas ke muka Jansen. Pyoh!

Sukar dibayangkan bagaimana rasanya jika biji mata mendelik dituang kuah bakso super pedas. Jadilah kini Jansen melolong-lolong meraung-raung merasakan kedua matanya terbakar air cabe dan bagian pergelangannya yang perih linu. Dalam teriakannya dia minta tolong, minta ampun, dan mengancam April juga. Untuk mencabik-cabiknya kemudian..

Dengan tenang April bergerak di seputar Jansen yang menggelepar-gelepar di lantai. Di raihnya setrikaan besi yang hendak diperbaiki. Lalu katanya lantang pada Jansen, ”Aku pegang setrikaan besi yang berat, Bang! Sekali kepruk kepalamu ambyar!”

Jansen beberapa detik berhenti melolong. Lalu melolong lagi. Kali ini dia berhenti mengancam. Hanya minta tolong dan minta ampun.

Sementara itu orang-orang pada berdatangan. Jum juga keluar kamar. Ruang tamu sudah porak poranda. Lantai basah darah dan kuah bakso. Jansen terus melolong merasakan sakitnya. Melihat banyak orang berdatangan, April pergi ke belakang mengambil air dengan ember.

Mulai hari itu setiap orang di pelacuran, dari ujung ke ujung, tahu April. Jadi apabila tengah hari waktu pulang sekolah, sejak dia masuk komplek sampai keluarnya tidak henti-hentinya dia mengangguk-angguk membalas sapaan orang. Itulah imbas dari sebuah aksi. Dan bahkan seorang ibu gembrot ratu bawel yang mulutnya paling jahat se pelacuran jadi terdiam seribu bahasa ketika April lewat dan meliriknya di tengah dia sedang mengomel panjang pendek.

Sabtu, 03 Desember 2011

Aku, tak Ragu

0 komentar
Tuhan,
Aku yakin dengan segala kasih-Mu
Dan aku percaya akan semua sayang-Mu
Namun mengapa aku ini ???
Selalu tak tahu diri
Apakah ada sesuatu yang mengunci hatiku ?!
Sehingga aku lupa akan semua cinta-Mu
Tuhan,
Kau pasti selalu mendekapku
Namun aku tempikkan arti kehangatan-Mu
Apakah aku insan tak tahu balas budi ?!
Kurang bersyukur
Selalu mencari dan berharap yang lebih
Bahkan tanpa terasa dan tak tersadari
Mungkin aku memohon selain kepada-Mu
Tuhan,
Andaikan aku selalu bersujud pada-Mu
Dan bersimpuh di dalam rumah-Mu
Tentu Engkau mau menerima tobatku
Namun aku kadang merasa lain
Karena banyak dosa yang kulakukan

Tuhan,
Aku tahu tangisku tak berarti bagi-Mu !!
Kini biarlah aku merenungi semuanya
Dan akan kucari pintu insyafku
Tapi, aku yakin dan tak meragukan
Akan semua ampunan-Mu, Tuhan.

Sabtu, 12 November 2011

Kisah Perjalanan Cinta yang Mengharukan (istri terbaik)

0 komentar


Cerita ini adalah kisah nyata… dimana perjalanan hidup ini ditulis oleh seorang istri dalam sebuah laptopnya.

Bacalah, semoga kisah nyata ini menjadi pelajaran bagi kita semua.

***

Cinta itu butuh kesabaran…

Sampai dimanakah kita harus bersabar menanti cinta kita???

Hari itu.. aku dengannya berkomitmen untuk menjaga cinta kita...

Aku menjadi perempuan yg paling bahagia...

Pernikahan kami sederhana namun meriah...

Ia menjadi pria yang sangat romantis pada waktu itu.

Aku bersyukur menikah dengan seorang pria yang shaleh, pintar, tampan & mapan pula.

Ketika kami berpacaran dia sudah sukses dalam karirnya.

Kami akan berbulan madu di tanah suci, itu janjinya ketika kami berpacaran dulu...

Dan setelah menikah, aku mengajaknya untuk umroh ke tanah suci...

Aku sangat bahagia dengannya, dan dianya juga sangat memanjakan aku… sangat terlihat dari rasa cinta dan rasa sayangnya pada ku.

Banyak orang yang bilang kami adalah pasangan yang serasi. Sangat terlihat sekali bagaimana suamiku memanjakanku. Dan aku bahagia menikah dengannya.


***

Lima tahun berlalu sudah kami menjadi suami istri, sangat tak terasa waktu begitu cepat berjalan walaupun kami hanya hidup berdua saja karena sampai saat ini aku belum bisa memberikannya seorang malaikat kecil (bayi) di tengah keharmonisan rumah tangga kami.

Karena dia anak lelaki satu-satunya dalam keluarganya, jadi aku harus berusaha untuk mendapatkan penerus generasi baginya.

Alhamdulillah saat itu suamiku mendukungku…

Ia mengaggap Allah belum mempercayai kami untuk menjaga titipan-NYA.

Tapi keluarganya mulai resah. Dari awal kami menikah, ibu & adiknya tidak menyukaiku. Aku sering mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari mereka, namun aku selalu berusaha menutupi hal itu dari suamiku…

Didepan suami ku mereka berlaku sangat baik padaku, tapi dibelakang suami ku, aku dihina-hina oleh mereka…

Pernah suatu ketika satu tahun usia pernikahan kami, suamiku mengalami kecelakaan, mobilnya hancur. Alhamdulillah suami ku selamat dari maut yang hampir membuat ku menjadi seorang janda itu.

Ia dirawat dirumah sakit pada saat dia belum sadarkan diri setelah kecelakaan. Aku selalu menemaninya siang & malam sambil kubacakan ayat-ayat suci Al – Qur’an. Aku sibuk bolak-balik dari rumah sakit dan dari tempat aku melakukan aktivitas sosial ku, aku sibuk mengurus suamiku yang sakit karena kecelakaan.

Namun saat ketika aku kembali ke rumah sakit setelah dari rumah kami, aku melihat di dalam kamarnya ada ibu, adik-adiknya dan teman-teman suamiku, dan disaat itu juga.. aku melihat ada seorang wanita yang sangat akrab mengobrol dengan ibu mertuaku. Mereka tertawa menghibur suamiku.

Alhamdulillah suamiku ternyata sudah sadar, aku menangis ketika melihat suami ku sudah sadar, tapi aku tak boleh sedih di hadapannya.

Kubuka pintu yang tertutup rapat itu sambil mengatakan, “Assalammu’alaikum” dan mereka menjawab salam ku. Aku berdiam sejenak di depan pintu dan mereka semua melihatku. Suamiku menatapku penuh manja, mungkin ia kangen padaku karena sudah 5 hari mata nya selalu tertutup.

Tangannya melambai, mengisyaratkan aku untuk memegang tangannya erat. Setelah aku menghampirinya, kucium tangannya sambil berkata “Assalammu’alaikum”, ia pun menjawab salam ku dengan suaranya yg lirih namun penuh dengan cinta. Aku pun senyum melihat wajahnya.

Lalu.. Ibu nya berbicara denganku …

“Fis, kenalkan ini Desi teman Fikri”.

Aku teringat cerita dari suamiku bahwa teman baiknya pernah mencintainya, perempuan itu bernama Desi dan dia sangat akrab dengan keluarga suamiku. Hingga akhirnya aku bertemu dengan orangnya juga. Aku pun langsung berjabat tangan dengannya, tak banyak aku bicara di dalam ruangan tersebut,aku tak mengerti apa yg mereka bicarakan.

Aku sibuk membersihkan & mengobati luka-luka di kepala suamiku, baru sebentar aku membersihkan mukanya, tiba-tiba adik ipar ku yang bernama Dian mengajakku keluar, ia minta ditemani ke kantin. Dan suamiku pun mengijinkannya. Kemudian aku pun menemaninya.

Tapi ketika di luar adik ipar ku berkata, ”lebih baik kau pulang saja, adakami yg menjaga abang disini. Kau istirahat saja. ”

Anehnya, aku tak diperbolehkan berpamitan dengan suamiku dengan alasan abang harus banyak beristirahat dan karena psikologisnya masih labil. Aku berdebat dengannya mempertanyakan mengapa aku tidak diizinkan berpamitan dengan suamiku. Tapi tiba-tiba ibu mertuaku datang menghampiriku dan ia juga mengatakan hal yang sama. Nantinya dia akan memberi alasan pada suamiku mengapa aku pulang tak berpamitan padanya, toh suamiku selalu menurut apa kata ibunya, baik ibunya salah ataupun tidak, suamiku tetap saja membenarkannya. Akhirnya aku pun pergi meninggalkan rumah sakit itu dengan linangan air mata.

Sejak saat itu aku tidak pernah diijinkan menjenguk suamiku sampai ia kembali dari rumah sakit. Dan aku hanya bisa menangis dalam kesendirianku. Menangis mengapa mereka sangat membenciku.

***

Hari itu.. aku menangis tanpa sebab, yang ada di benakku aku takut kehilangannya, aku takut cintanya dibagi dengan yang lain.

Pagi itu, pada saat aku membersihkan pekarangan rumah kami, suamiku memanggil ku ke taman belakang, ia baru aja selesai sarapan, ia mengajakku duduk di ayunan favorit kami sambil melihat ikan-ikan yang bertaburan di kolam air mancur itu.

Aku bertanya, ”Ada apa kamu memanggilku?”

Ia berkata, ”Besok aku akan menjenguk keluargaku di Sabang”

Aku menjawab, ”Ia sayang.. aku tahu, aku sudah mengemasi barang-barang kamu di travel bag dan kamu sudah memeegang tiket bukan?”

“Ya tapi aku tak akan lama disana, cuma 3 minggu aku disana, aku juga sudah lama tidak bertemu dengan keluarga besarku sejak kita menikah dan aku akan pulang dengan mama ku”, jawabnya tegas.

“Mengapa baru sekarang bicara, aku pikir hanya seminggu saja kamu disana?“, tanya ku balik kepadanya penuh dengan rasa penasaran dan sedikit rasa kecewa karena ia baru memberitahukan rencana kepulanggannya itu, padahal aku telah bersusah payah mencarikan tiket pesawat untuknya.

”Mama minta aku yang menemaninya saat pulang nanti”, jawabnya tegas.

”Sekarang aku ingin seharian dengan kamu karena nanti kita 3 minggu tidak bertemu, ya kan?”, lanjut nya lagi sambil memelukku dan mencium keningku. Hatiku sedih dengan keputusannya, tapi tak boleh aku tunjukkan pada nya.

Bahagianya aku dimanja dengan suami yang penuh dengan rasa sayang & cintanya walau terkadang ia bersikap kurang adil terhadapku.

Aku hanya bisa tersenyum saja, padahal aku ingin bersama suamiku, tapi karena keluarganya tidak menyukaiku hanya karena mereka cemburu padaku karena suamiku sangat sayang padaku.

Kemudian aku memutuskan agar ia saja yg pergi dan kami juga harus berhemat dalam pengeluaran anggaran rumah tangga kami.

Karena ini acara sakral bagi keluarganya, jadi seluruh keluarganya harus komplit. Walaupun begitu, aku pun tetap tak akan diperdulikan oleh keluarganya harus datang ataupun tidak. Tidak hadir justru membuat mereka sangat senang dan aku pun tak mau membuat riuh keluarga ini.

Malam sebelum kepergiannya, aku menangis sambil membereskan keperluan yang akan dibawanya ke Sabang, ia menatapku dan menghapus airmata yang jatuh dipipiku, lalu aku peluk erat dirinya. Hati ini bergumam tak merelakan dia pergi seakan terjadi sesuatu, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya bisa menangis karena akan ditinggal pergi olehnya.

Aku tidak pernah ditinggal pergi selama ini, karena kami selalu bersama-sama kemana pun ia pergi.

Apa mungkin aku sedih karena aku sendirian dan tidak memiliki teman, karena biasanya hanya pembantu sajalah teman mengobrolku.

Hati ini sedih akan di tinggal pergi olehnya.

Sampai keesokan harinya, aku terus menangis.. menangisi kepergiannya. Aku tak tahu mengapa sesedih ini, perasaanku tak enak, tapi aku tak boleh berburuk sangka. Aku harus percaya apada suamiku. Dia pasti akan selalu menelponku.

***

Berjauhan dengan suamiku, aku merasa sangat tidak nyaman, aku merasa sendiri. Untunglah aku mempunyai kesibukan sebagai seorang aktivis, jadinya aku tak terlalu kesepian ditinggal pergi ke Sabang.

Saat kami berhubungan jarak jauh, komunikasi kami memburuk dan aku pun jatuh sakit. Rahimku terasa sakit sekali seperti di lilit oleh tali. Tak tahan aku menahan rasa sakit dirahimku ini, sampai-sampai aku mengalami pendarahan. Aku dilarikan ke rumah sakit oleh adik laki-lakiku yang kebetulan menemaniku disana. Dokter memvonis aku terkena kanker mulut rahim stadium 3.

Aku menangis.. apa yang bisa aku banggakan lagi..

Mertuaku akan semakin menghinaku, suamiku yang malang yang selalu berharap akan punya keturunan dari rahimku.. namun aku tak bisa memberikannya keturunan. Dan kemudian aku hanya bisa memeluk adikku.

Aku kangen pada suamiku, aku selalu menunggu ia pulang dan bertanya-tanya, “kapankah ia segera pulang?” aku tak tahu..

Sementara suamiku disana, aku tidak tahu mengapa ia selalu marah-marah jika menelponku. Bagaimana aku akan menceritakan kondisiku jika ia selalu marah-marah terhadapku..

Lebih baik aku tutupi dulu tetang hal ini dan aku juga tak mau membuatnya khawatir selama ia berada di Sabang.

Lebih baik nanti saja ketika ia sudah pulang dari Sabang, aku akan cerita padanya. Setiap hari aku menanti suamiku pulang, hari demi hari aku hitung…

Sudah 3 minggu suamiku di Sabang, malam itu ketika aku sedang melihat foto-foto kami, ponselku berbunyi menandakan ada sms yang masuk.

Kubuka di inbox ponselku, ternyata dari suamiku yang sms.

Ia menulis, “aku sudah beli tiket untuk pulang, aku pulangnya satu hari lagi, aku akan kabarin lagi”.

Hanya itu saja yang diinfokannya. Aku ingin marah, tapi aku pendam saja ego yang tidak baik ini. Hari yg aku tunggu pun tiba, aku menantinya di rumah.

Sebagai seorang istri, aku pun berdandan yang cantik dan memakai parfum kesukaannya untuk menyambut suamiku pulang, dan nantinya aku juga akan menyelesaikan masalah komunikasi kami yg buruk akhir-akhir ini.

Bel pun berbunyi, kubukakan pintu untuknya dan ia pun mengucap salam. Sebelum masuk, aku pegang tangannya kedepan teras namun ia tetap berdiri, aku membungkuk untuk melepaskan sepatu, kaos kaki dan kucuci kedua kakinya, aku tak mau ada syaithan yang masuk ke dalam rumah kami.

Setelah itu akupun berdiri langsung mencium tangannya tapi apa reaksinya..

Masya Allah.. ia tidak mencium keningku, ia hanya diam dan langsung naik keruangan atas, kemudian mandi dan tidur tanpa bertanya kabarku..

Aku hanya berpikir, mungkin dia capek. Aku pun segera merapikan bawaan nya sampai aku pun tertidur. Malam menunjukkan 1/3 malam, mengingatkan aku pada tempat mengadu yaitu Allah, Sang Maha Pencipta.

Biasa nya kami selalu berjama’ah, tapi karena melihat nya tidur sangat pulas, aku tak tega membangunkannya.
Aku hanya mengeelus wajahnya dan aku cium keningnya, lalu aku sholat tahajud 8 rakaat plus witir 3 raka’at.


***
Aku mendengar suara mobilnya, aku terbangun lalu aku melihat dirinya dari balkon kamar kami yang bersiap-siap untuk pergi. Lalu aku memanggilnya tapi ia tak mendengar. Kemudian aku ambil jilbabku dan aku berlari dari atas ke bawah tanpa memperdulikan darah yg bercecer dari rahimku untuk mengejarnya tapi ia begitu cepat pergi.

Aku merasa ada yang aneh dengan suamiku. Ada apa dengan suamiku? Mengapa ia bersikap tidak biasa terhadapku?

Aku tidak bisa diam begitu saja, firasatku mengatakan ada sesuatu. Saat itu juga aku langsung menelpon kerumah mertuakudan kebetulan Dian yang mengangkat telponnya, aku bercerita dan aku bertanya apa yang sedang terjadi dengan suamiku. Dengan enteng ia menjawab, “Loe pikir aja sendiri!!!”. Telpon pun langsung terputus.

Ada apa ini? Tanya hatiku penuh dalam kecemasan. Mengapa suamiku berubah setelah ia kembali dari kota kelahirannya. Mengapa ia tak mau berbicara padaku, apalagi memanjakan aku.

Semakin hari ia menjadi orang yang pendiam, seakan ia telah melepas tanggung jawabnya sebagai seorang suami. Kami hanya berbicara seperlunya saja, aku selalu diintrogasinya. Selalu bertanya aku dari mana dan mengapa pulang terlambat dan ia bertanya dengan nada yg keras. Suamiku telah berubah.

Bahkan yang membuat ku kaget, aku pernah dituduhnya berzina dengan mantan pacarku. Ingin rasanya aku menampar suamiku yang telah menuduhku serendah itu, tapi aku selalu ingat.. sebagaimana pun salahnya seorang suami, status suami tetap di atas para istri, itu pedoman yang aku pegang.

Aku hanya berdo’a semoga suamiku sadar akan prilakunya.

***

Dua tahun berlalu, suamiku tak kunjung berubah juga. Aku menangis setiap malam, lelah menanti seperti ini, kami seperti orang asing yang baru saja berkenalan.

Kemesraan yang kami ciptakan dulu telah sirna. Walaupun kondisinya tetap seperti itu, aku tetap merawatnya & menyiakan segala yang ia perlukan. Penyakitkupun masih aku simpan dengan baik dan sekalipun ia tak pernah bertanya perihal obat apa yang aku minum. Kebahagiaan ku telah sirna, harapan menjadi ibu pun telah aku pendam. Aku tak tahu kapan ini semua akan berakhir.

Bersyukurlah.. aku punya penghasilan sendiri dari aktifitasku sebagai seorang guru ngaji, jadi aku tak perlu meminta uang padanya hanya untuk pengobatan kankerku. Aku pun hanya berobat semampuku.

Sungguh.. suami yang dulu aku puja dan aku banggakan, sekarang telah menjadi orang asing bagiku, setiap aku bertanya ia selalu menyuruhku untuk berpikir sendiri. Tiba-tiba saja malam itu setelah makan malam usai, suamiku memanggilku.

“Ya, ada apa Yah!” sahutku dengan memanggil nama kesayangannya “Ayah”.

“Lusa kita siap-siap ke Sabang ya.” Jawabnya tegas.

“Ada apa? Mengapa?”, sahutku penuh dengan keheranan.

Astaghfirullah.. suami ku yang dulu lembut tiba-tiba saja menjadi kasar, dia membentakku. Sehingga tak ada lagi kelanjutan diskusi antara kami.

Dia mengatakan ”Kau ikut saja jangan banyak tanya!!”

Lalu aku pun bersegera mengemasi barang-barang yang akan dibawa ke Sabang sambil menangis, sedih karena suamiku kini tak ku kenal lagi.

Dua tahun pacaran, lima tahun kami menikah dan sudah 2 tahun pula ia menjadi orang asing buatku. Ku lihat kamar kami yg dulu hangat penuh cinta yang dihiasi foto pernikahan kami, sekarang menjadi dingin.. sangat dingin dari batu es. Aku menangis dengan kebingungan ini. Ingin rasanya aku berontak berteriak, tapi aku tak bisa.

Suamiku tak suka dengan wanita yang kasar, ngomong dengan nada tinggi, suka membanting barang-barang. Dia bilang perbuatan itu menunjukkan sikap ketidakhormatan kepadanya. Aku hanya bisa bersabar menantinya bicara dan sabar mengobati penyakitku ini, dalam kesendirianku..

***

Kami telah sampai di Sabang, aku masih merasa lelah karena semalaman aku tidak tidur karena terus berpikir. Keluarga besarnya juga telah berkumpul disana, termasuk ibu & adik-adiknya. Aku tidak tahu ada acara apa ini..

Aku dan suamiku pun masuk ke kamar kami. Suamiku tak betah didalam kamar tua itu, ia pun langsung keluar bergabung dengan keluarga besarnya.

Baru saja aku membongkar koper kami dan ingin memasukkannya ke dalam lemari tua yg berada di dekat pintu kamar, lemari tua yang telah ada sebelum suamiku lahir tiba-tiba Tante Lia, tante yang sangat baik padaku memanggil ku untuk bersegera berkumpul diruang tengah, aku pun menuju ke ruang keluarga yang berada ditengah rumah besar itu, yang tampak seperti rumah zaman peninggalan belanda.

Kemudian aku duduk disamping suamiku, dan suamiku menunduk penuh dengan kebisuan, aku tak berani bertanya padanya.

Tiba-tiba saja neneknya, orang yang dianggap paling tua dan paling berhak atas semuanya, membuka pembicaraan.

“Baiklah, karena kalian telah berkumpul, nenek ingin bicara dengan kau Fisha”. Neneknya berbicara sangat tegas, dengan sorot mata yang tajam.

”Ada apa ya Nek?” sahutku dengan penuh tanya..

Nenek pun menjawab, “Kau telah bergabung dengan keluarga kami hampir 8 tahun, sampai saat ini kami tak melihat tanda-tanda kehamilan yang sempurna sebab selama ini kau selalu keguguran!!“.

Aku menangis.. untuk inikah aku diundang kemari? Untuk dihina ataukah dipisahkan dengan suamiku?

“Sebenarnya kami sudah punya calon untuk Fikri, dari dulu.. sebelum kau menikah dengannya. Tapi Fikri anak yang keras kepala, tak mau di atur,dan akhirnya menikahlah ia dengan kau.” Neneknya berbicara sangat lantang, mungkin logat orang Sabang seperti itu semua.

Aku hanya bisa tersenyum dan melihat wajah suamiku yang kosong matanya.

“Dan aku dengar dari ibu mertuamu kau pun sudah berkenalan dengannya”, neneknya masih melanjutkan pembicaraan itu.

Sedangkan suamiku hanya terdiam saja, tapi aku lihat air matanya. Ingin aku peluk suamiku agar ia kuat dengan semua ini, tapi aku tak punya keberanian itu.
Neneknya masih saja berbicara panjang lebar dan yang terakhir dari ucapannya dengan mimik wajah yang sangat menantang kemudian berkata, “kau maunya gimana? kau dimadu atau diceraikan?“

MasyaAllah.. kuatkan hati ini.. aku ingin jatuh pingsan. Hati ini seakan remuk mendengarnya, hancur hatiku. Mengapa keluarganya bersikap seperti ini terhadapku..

Aku selalu munutupi masalah ini dari kedua orang tuaku yang tinggal di pulaukayu, mereka mengira aku sangat bahagia 2 tahun belakangan ini.

“Fish, jawab!.” Dengan tegas Ibunya langsung memintaku untuk menjawab.

Aku langsung memegang tangan suamiku. Dengan tangan yang dingin dan gemetar aku menjawab dengan tegas.

”Walaupun aku tidak bisa berdiskusi dulu dengan imamku, tapi aku dapat berdiskusi dengannya melalui bathiniah, untuk kebaikan dan masa depan keluarga ini, aku akan menyambut baik seorang wanita baru dirumah kami.”

Itu yang aku jawab, dengan kata lain aku rela cintaku dibagi. Dan pada saat itu juga suamiku memandangku dengan tetesan air mata, tapi air mataku tak sedikit pun menetes di hadapan mereka.

Aku lalu bertanya kepada suamiku, “Ayah siapakah yang akan menjadi sahabatku dirumah kita nanti, yah?”

Suamiku menjawab, ”Dia Desi!”

Aku pun langsung menarik napas dan langsung berbicara, ”Kapan pernikahannya berlangsung? Apa yang harus saya siapkan dalam pernikahan ini Nek?.”

Ayah mertuaku menjawab, “Pernikahannya 2 minggu lagi.”

”Baiklah kalo begitu saya akan menelpon pembantu di rumah, untuk menyuruhnya mengurus KK kami ke kelurahan besok”, setelah berbicara seperti itu aku permisi untuk pamit ke kamar.

Tak tahan lagi.. air mata ini akan turun, aku berjalan sangat cepat, aku buka pintu kamar dan aku langsung duduk di tempat tidur. Ingin berteriak, tapi aku sendiri disini. Tak kuat rasanya menerima hal ini, cintaku telah dibagi. Sakit. Diiringi akutnya penyakitku..

Apakah karena ini suamiku menjadi orang yang asing selama 2 tahun belakangan ini?

Aku berjalan menuju ke meja rias, kubuka jilbabku, aku bercermin sambil bertanya-tanya, “sudah tidak cantikkah aku ini?“

Ku ambil sisirku, aku menyisiri rambutku yang setiap hari rontok. Kulihat wajahku, ternyata aku memang sudah tidak cantik lagi, rambutku sudah hampir habis.. kepalaku sudah botak dibagian tengahnya.

Tiba-tiba pintu kamar ini terbuka, ternyata suamiku yang datang, ia berdiri dibelakangku. Tak kuhapus air mata ini, aku bersegera memandangnya dari cermin meja rias itu.

Kami diam sejenak, lalu aku mulai pembicaraan, “terima kasih ayah, kamu memberi sahabat kepada ku. Jadi aku tak perlu sedih lagi saat ditinggal pergi kamu nanti! Iya kan?.”

Suamiku mengangguk sambil melihat kepalaku tapi tak sedikitpun ia tersenyum dan bertanya kenapa rambutku rontok, dia hanya mengatakan jangan salah memakai shampo.

Dalam hatiku bertanya, “mengapa ia sangat cuek?” dan ia sudah tak memanjakanku lagi. Lalu dia berkata, “sudah malam, kita istirahat yuk!“

“Aku sholat isya dulu baru aku tidur”, jawabku tenang.

Dalam sholat dan dalam tidur aku menangis. Ku hitung mundur waktu, kapan aku akan berbagi suami dengannya. Aku pun ikut sibuk mengurusi pernikahan suamiku.

Aku tak tahu kalau Desi orang Sabang juga. Sudahlah, ini mungkin takdirku. Aku ingin suamiku kembali seperti dulu, yang sangat memanjakan aku atas rasa sayang dan cintanya itu.

***

Malam sebelum hari pernikahan suamiku, aku menulis curahan hatiku di laptopku.

Di laptop aku menulis saat-saat terakhirku melihat suamiku, aku marah pada suamiku yang telah menelantarkanku. Aku menangis melihat suamiku yang sedang tidur pulas, apa salahku? sampai ia berlaku sekejam itu kepadaku. Akusave di mydocument yang bertitle “Aku Mencintaimu Suamiku.”

Hari pernikahan telah tiba, aku telah siap, tapi aku tak sanggup untuk keluar. Aku berdiri didekat jendela, aku melihat matahari, karena mungkin saja aku takkan bisa melihat sinarnya lagi. Aku berdiri sangat lama.. lalu suamiku yang telah siap dengan pakaian pengantinnya masuk dan berbicara padaku.

“Apakah kamu sudah siap?”

Kuhapus airmata yang menetes diwajahku sambil berkata :

“Nanti jika ia telah sah jadi istrimu, ketika kamu membawa ia masuk kedalam rumah ini, cucilah kakinya sebagaimana kamu mencuci kakiku dulu, lalu ketika kalian masuk ke dalam kamar pengantin bacakan do’a di ubun-ubunnya sebagaimana yang kamu lakukan padaku dulu. Lalu setelah itu..”, perkataanku terhenti karena tak sanggup aku meneruskan pembicaraan itu, aku ingin menagis meledak.

Tiba-tiba suamiku menjawab “Lalu apa Bunda?”

Aku kaget mendengar kata itu, yang tadinya aku menunduk seketika aku langsung menatapnya dengan mata yang berbinar-binar…

“Bisa kamu ulangi apa yang kamu ucapkan barusan?”, pintaku tuk menyakini bahwa kuping ini tidak salah mendengar.

Dia mengangguk dan berkata, ”Baik bunda akan ayah ulangi, lalu apa bunda?”, sambil ia mengelus wajah dan menghapus airmataku, dia agak sedikit membungkuk karena dia sangat tinggi, aku hanya sedadanya saja.

Dia tersenyum sambil berkata, ”Kita liat saja nanti ya!”. Dia memelukku dan berkata, “bunda adalah wanita yang paling kuat yang ayah temui selain mama”.

Kemudian ia mencium keningku, aku langsung memeluknya erat dan berkata, “Ayah, apakah ini akan segera berakhir? Ayah kemana saja? Mengapa Ayah berubah? Aku kangen sama Ayah? Aku kangen belaian kasih sayang Ayah? Aku kangen dengan manjanya Ayah? Aku kesepian Ayah? Dan satu hal lagi yang harus Ayah tau, bahwa aku tidak pernah berzinah! Dulu.. waktu awal kita pacaran, aku memang belum bisa melupakannya, setelah 4 bulan bersama Ayah baru bisa aku terima, jika yang dihadapanku itu adalah lelaki yang aku cari. Bukan berarti aku pernah berzina Ayah.” Aku langsung bersujud di kakinya dan muncium kaki imamku sambil berkata, ”Aku minta maaf Ayah, telah membuatmu susah”.

Saat itu juga, diangkatnya badanku.. ia hanya menangis.

Ia memelukku sangat lama, 2 tahun aku menanti dirinya kembali. Tiba-tiba perutku sakit, ia menyadari bahwa ada yang tidak beres denganku dan ia bertanya, ”bunda baik-baik saja kan?” tanyanya dengan penuh khawatir.

Aku pun menjawab, “bisa memeluk dan melihat kamu kembali seperti dulu itu sudah mebuatku baik, Yah. Aku hanya tak bisa bicara sekarang“. Karena dia akan menikah. Aku tak mau membuat dia khawatir. Dia harus khusyu menjalani acara prosesi akad nikah tersebut.

***

Setelah tiba dimasjid, ijab-qabul pun dimulai. Aku duduk diseberang suamiku.

Aku melihat suamiku duduk berdampingan dengan perempuan itu, membuat hati ini cemburu, ingin berteriak mengatakan, “Ayah jangan!!”, tapi aku ingat akan kondisiku.

Jantung ini berdebar kencang saat mendengar ijab-qabul tersebut. Begitu ijab-qabul selesai, aku menarik napas panjang. Tante Lia, tante yang baik itu, memelukku. Dalam hati aku berusaha untuk menguatkan hati ini. Ya… aku kuat.

Tak sanggup aku melihat mereka duduk bersanding dipelaminan. Orang-orang yang hadir di acara resepsi itu iba melihatku, mereka melihatku dengan tatapan sangat aneh, mungkin melihat wajahku yang selalu tersenyum, tapi dibalik itu.. hatiku menangis.

Sampai dirumah, suamiku langsung masuk ke dalam rumah begitu saja. Tak mencuci kakinya. Aku sangat heran dengan perilakunya. Apa iya, dia tidak suka dengan pernikahan ini?

Sementara itu Desi disambut hangat di dalam keluarga suamiku, tak seperti aku dahulu, yang di musuhi.

Malam ini aku tak bisa tidur, bagaimana bisa? Suamiku akan tidur dengan perempuan yang sangat aku cemburui. Aku tak tahu apa yang sedang mereka lakukan didalam sana.

Sepertiga malam pada saat aku ingin sholat lail aku keluar untuk berwudhu, lalu aku melihat ada lelaki yang mirip suamiku tidur disofa ruang tengah. Kudekati lalu kulihat. Masya Allah.. suamiku tak tidur dengan wanita itu, ia ternyata tidur disofa, aku duduk disofa itu sambil menghelus wajahnya yang lelah, tiba-tiba ia memegang tangan kiriku, tentu saja aku kaget.

“Kamu datang ke sini, aku pun tahu”, ia berkata seperti itu. Aku tersenyum dan megajaknya sholat lail. Setelah sholat lail ia berkata, “maafkan aku, aku tak boleh menyakitimu, kamu menderita karena ego nya aku. Besok kita pulang ke Jakarta, biar Desi pulang dengan mama, papa dan juga adik-adikku”

Aku menatapnya dengan penuh keheranan. Tapi ia langsung mengajakku untuk istirahat. Saat tidur ia memelukku sangat erat. Aku tersenyum saja, sudah lama ini tidak terjadi. Ya Allah.. apakah Engkau akan menyuruh malaikat maut untuk mengambil nyawaku sekarang ini, karena aku telah merasakan kehadirannya saat ini. Tapi.. masih bisakah engkau ijinkan aku untuk merasakan kehangatan dari suamiku yang telah hilang selama 2 tahun ini..

Suamiku berbisik, “Bunda kok kurus?”

Aku menangis dalam kebisuan. Pelukannya masih bisa aku rasakan.

Aku pun berkata, “Ayah kenapa tidak tidur dengan Desi?”

”Aku kangen sama kamu Bunda, aku tak mau menyakitimu lagi. Kamu sudah sering terluka oleh sikapku yang egois.” Dengan lembut suamiku menjawab seperti itu.

Lalu suamiku berkata, ”Bun, ayah minta maaf telah menelantarkan bunda.. Selama ayah di Sabang, ayah dengar kalau bunda tidak tulus mencintai ayah, bunda seperti mengejar sesuatu, seperti mengejar harta ayah dan satu lagi.. ayah pernah melihat sms bunda dengan mantan pacar bunda dimana isinya kalau bunda gak mau berbuat “seperti itu” dan tulisan seperti itu diberi tanda kutip (“seperti itu”). Ayah ingin ngomong tapi takut bunda tersinggung dan ayah berpikir kalau bunda pernah tidur dengannya sebelum bunda bertemu ayah, terus ayah dimarahi oleh keluarga ayah karena ayah terlalu memanjakan bunda”


Hati ini sakit ketika difitnah oleh suamiku, ketika tidak ada kepercayaan di dirinya, hanya karena omongan keluarganya yang tidak pernah melihat betapa tulusnya aku mencintai pasangan seumur hidupku ini.

Aku hanya menjawab, “Aku sudah ceritakan itu kan Yah. Aku tidak pernah berzinah dan aku mencintaimu setulus hatiku, jika aku hanya mengejar hartamu, mengapa aku memilih kamu? Padahal banyak lelaki yang lebih mapan darimu waktu itu Yah. Jika aku hanya mengejar hartamu, aku tak mungkin setiap hari menangis karena menderita mencintaimu.“

Entah aku harus bahagia atau aku harus sedih karena sahabatku sendirian dikamar pengantin itu. Malam itu, aku menyelesaikan masalahku dengan suamiku dan berusaha memaafkannya beserta sikap keluarganya juga.

Karena aku tak mau mati dalam hati yang penuh dengan rasa benci.

***

Keesokan harinya…

Ketika aku ingin terbangun untuk mengambil wudhu, kepalaku pusing, rahimku sakit sekali.. aku mengalami pendarahan dan suamiku kaget bukan main, ia langsung menggendongku.

Aku pun dilarikan ke rumah sakit..

Dari kejauhan aku mendengar suara zikir suamiku..

Aku merasakan tanganku basah..

Ketika kubuka mata ini, kulihat wajah suamiku penuh dengan rasa kekhawatiran.

Ia menggenggam tanganku dengan erat.. Dan mengatakan, ”Bunda, Ayah minta maaf…”

Berkali-kali ia mengucapkan hal itu. Dalam hatiku, apa ia tahu apa yang terjadi padaku?

Aku berkata dengan suara yang lirih, ”Yah, bunda ingin pulang.. bunda ingin bertemu kedua orang tua bunda, anterin bunda kesana ya, Yah..”

“Ayah jangan berubah lagi ya! Janji ya, Yah… !!! Bunda sayang banget sama Ayah.”

Tiba-tiba saja kakiku sakit sangat sakit, sakitnya semakin keatas, kakiku sudah tak bisa bergerak lagi.. aku tak kuat lagi memegang tangan suamiku. Kulihat wajahnya yang tampan, berlinang air mata.

Sebelum mata ini tertutup, kulafazkan kalimat syahadat dan ditutup dengan kalimat tahlil.

Aku bahagia melihat suamiku punya pengganti diriku..

Aku bahagia selalu melayaninya dalam suka dan duka..

Menemaninya dalam ketika ia mengalami kesulitan dari kami pacaran sampai kami menikah.

Aku bahagia bersuamikan dia. Dia adalah nafasku.

Untuk Ibu mertuaku : “Maafkan aku telah hadir didalam kehidupan anakmu sampai aku hidup didalam hati anakmu, ketahuilah Ma.. dari dulu aku selalu berdo’a agar Mama merestui hubungan kami. Mengapa engkau fitnah diriku didepan suamiku, apa engkau punya buktinya Ma? Mengapa engkau sangat cemburu padaku Ma? Fikri tetap milikmu Ma, aku tak pernah menyuruhnya untuk durhaka kepadamu, dari dulu aku selalu mengerti apa yang kamu inginkan dari anakmu, tapi mengapa kau benci diriku. Dengan Desi kau sangat baik tetapi denganku menantumu kau bersikap sebaliknya.”

***

Setelah ku buka laptop, kubaca curhatan istriku.

=====================================================

Ayah, mengapa keluargamu sangat membenciku?

Aku dihina oleh mereka ayah.

Mengapa mereka bisa baik terhadapku pada saat ada dirimu?

Pernah suatu ketika aku bertemu Dian di jalan, aku menegurnya karena dia adik iparku tapi aku disambut dengan wajah ketidaksukaannya. Sangat terlihat Ayah..

Tapi ketika engkau bersamaku, Dian sangat baik, sangat manis dan ia memanggilku dengan panggilan yang sangat menghormatiku. Mengapa seperti itu ayah?

Aku tak bisa berbicara tentang ini padamu, karena aku tahu kamu pasti membela adikmu, tak ada gunanya Yah..

Aku diusir dari rumah sakit.

Aku tak boleh merawat suamiku.

Aku cemburu pada Desi yang sangat akrab dengan mertuaku.

Tiap hari ia datang ke rumah sakit bersama mertuaku.

Aku sangat marah..

Jika aku membicarakan hal ini pada suamiku, ia akan pasti membela Desi danibunya..

Aku tak mau sakit hati lagi.

Ya Allah kuatkan aku, maafkan aku..

Engkau Maha Adil..

Berilah keadilan ini padaku, Ya Allah..

Ayah sudah berubah, ayah sudah tak sayang lagi pada ku..

Aku berusaha untuk mandiri ayah, aku tak akan bermanja-manja lagi padamu..

Aku kuat ayah dalam kesakitan ini..

Lihatlah ayah, aku kuat walaupun penyakit kanker ini terus menyerangku..

Aku bisa melakukan ini semua sendiri ayah..

Besok suamiku akan menikah dengan perempuan itu.

Perempuan yang aku benci, yang aku cemburui.

Tapi aku tak boleh egois, ini untuk kebahagian keluarga suamiku.

Aku harus sadar diri.

Ayah, sebenarnya aku tak mau diduakan olehmu.

Mengapa harus Desi yang menjadi sahabatku?

Ayah.. aku masih tak rela.

Tapi aku harus ikhlas menerimanya.

Pagi nanti suamiku melangsungkan pernikahan keduanya.

Semoga saja aku masih punya waktu untuk melihatnya tersenyum untukku.

Aku ingin sekali merasakan kasih sayangnya yang terakhir.

Sebelum ajal ini menjemputku.

Ayah.. aku kangen ayah..

=====================================================

Dan kini aku telah membawamu ke orang tuamu, Bunda..

Aku akan mengunjungimu sebulan sekali bersama Desi di Pulau Kayu ini.

Aku akan selalu membawakanmu bunga mawar yang berwana pink yang mencerminkan keceriaan hatimu yang sakit tertusuk duri.

Bunda tetap cantik, selalu tersenyum disaat tidur.

Bunda akan selalu hidup dihati ayah.

Bunda.. Desi tak sepertimu, yang tidak pernah marah..

Desi sangat berbeda denganmu, ia tak pernah membersihkan telingaku, rambutku tak pernah di creambathnya, kakiku pun tak pernah dicucinya.

Ayah menyesal telah menelantarkanmu selama 2 tahun, kamu sakit pun aku tak perduli, hidup dalam kesendirianmu..

Seandainya Ayah tak menelantarkan Bunda, mungkin ayah masih bisa tidur dengan belaian tangan Bunda yang halus.

Sekarang Ayah sadar, bahwa ayah sangat membutuhkan bunda..

Bunda, kamu wanita yang paling tegar yang pernah kutemui.

Aku menyesal telah asik dalam ke-egoanku..

Bunda.. maafkan aku.. Bunda tidur tetap manis. Senyum manjamu terlihat di tidurmu yang panjang.

Maafkan aku, tak bisa bersikap adil dan membahagiakanmu, aku selalu meng-iyakan apa kata ibuku, karena aku takut menjadi anak durhaka. Maafkan aku ketika kau di fitnah oleh keluargaku, aku percaya begitu saja.

Apakah Bunda akan mendapat pengganti ayah di surga sana?

Apakah Bunda tetap menanti ayah disana? Tetap setia dialam sana?

Tunggulah Ayah disana Bunda..

Bisakan? Seperti Bunda menunggu ayah di sini.. Aku mohon..

Ayah Sayang Bunda..


( Copast dari temen .. )