Jumat, 16 Desember 2011

PRIBADI yang di CARI

all people have something like it or not, especially about ourselves ... personality ... if you have a personality?

Ketulusan
Ketulusan menempati peringkat pertama sebagai sifat yang paling disukai oleh semua orang. Ketulusan membuat orang lain merasa aman dan dihargai karena yakin tidak akan dibodohi atau dibohongi. Orang yang tulus selalu mengatakan kebenaran, tidak suka mengada-ada, pura- pura, mencari-cari alasan atau memutarbalikkan fakta. Prinsipnya “Ya diatas Ya dan Tidak diatas Tidak”. Tentu akan lebih ideal bila ketulusan yang selembut merpati itu diimbangi dengan kecerdikan seekor ular. Dengan begitu, ketulusan tidak menjadi keluguan yang bisa merugikan diri sendiri.

Kerendahan Hati
Berbeda dengan rendah diri yang merupakan kelemahan, kerendah hatian justru mengungkapkan kekuatan. Hanya orang yang kuat jiwanya yang bisa bersikap rendah hati. Ia seperti padi yang semakin berisi semakin menunduk. Orang yang rendah hati bisa mengakui dan menghargai keunggulan orang lain. Ia bisa
membuat orang yang diatasnya merasa oke dan membuat orang yang di bawahnya tidak merasa minder.

Kesetiaan
Kesetiaan sudah menjadi barang langka & sangat tinggi harganya. Orang yang setia selalu bisa dipercaya dan diandalkan. Dia selalu menepati janji, punya komitmen yang kuat, rela berkorban dan tidak suka berkhianat.

Positive Thinking
Orang yang bersikap positif (positive thinking) selalu berusaha melihat segala sesuatu dari kacamata positif, bahkan dalam situasi yang buruk sekalipun. Dia lebih suka membicarakan kebaikan daripada keburukan orang lain, lebih suka bicara mengenai harapan daripada keputusasaan, lebih suka mencari solusi daripada frustasi, lebih suka memuji daripada mengecam, dan sebagainya.

Keceriaan
Karena tidak semua orang dikaruniai temperamen ceria, maka keceriaan tidak harus diartikan ekspresi wajah dan tubuh tapi sikap hati. Orang yang ceria adalah orang yang bisa menikmati hidup, tidak suka mengeluh dan selalu berusaha meraih kegembiraan. Dia bisa mentertawakan situasi, orang lain, juga dirinya sendiri. Dia punya potensi untuk menghibur dan mendorong semangat orang lain.

Bertanggung jawab
Orang yang bertanggung jawab akan melaksanakan kewajibannya dengan sungguh-sungguh. Kalau melakukan kesalahan, dia berani mengakuinya. Ketika mengalami kegagalan, dia tidak akan mencari kambing hitam untuk disalahkan. Bahkan kalau dia merasa kecewa dan sakit hati, dia tidak akan menyalahkan siapapun. Dia menyadari bahwa dirinya sendirilah yang bertanggung jawab atas apapun yang dialami dan dirasakannya.

Percaya Diri
Rasa percaya diri memungkinkan seseorang menerima dirinya sebagaimana adanya, menghargai dirinya dan menghargai orang lain. Orang yang percaya diri mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi yang baru. Dia tahu apa yang harus dilakukannya dan melakukannya dengan baik.

Kebesaran Jiwa
Kebesaran jiwa dapat dilihat dari kemampuan seseorang memaafkan orang lain. Orang yang berjiwa besar tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa benci dan permusuhan. Ketika menghadapi masa- masa sukar dia tetap tegar, tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan dan keputusasaan.

Easy Going
Orang yang easy going menganggap hidup ini ringan. Dia tidak suka membesar-besarkan masalah kecil. Bahkan berusaha mengecilkan masalah-masalah besar. Dia tidak suka mengungkit masa lalu dan tidak mau khawatir dengan masa depan. Dia tidak mau pusing dan stress dengan masalah-masalah yang berada di luar kontrolnya.

Empati
Empati adalah sifat yang sangat mengagumkan. Orang yang berempati bukan saja pendengar yang baik tapi juga bisa menempatkan diri pada posisi orang lain. Ketika terjadi konflik dia selalu mencari jalan keluar terbaik bagi kedua belah pihak, tidak suka memaksakan pendapat dan kehendaknya sendiri. Dia selalu berusaha memahami dan mengerti orang lain.

'' APRIL DI PELACURAN ''

Karena merasa jauh lebih dekat dan teduh, sudah sejak dulu-dulu April memilih rute untuk pergi dan pulang sekolah pada jalanan yang melewati pelacuran. Dia enggan menuruti instruksi kakek-neneknya yang mengarahkannya ke rute yang lebih “bermoral” yaitu jalanan aspal yang memutar melewati pertokoan dan lain-lain. Sebabnya disamping lebih jauh dan panas, telapak kaki April jadi seperti menginjak bara rasanya karena dia punya kebiasaan mencopot sepatunya ketika pulang sekolah.

Sebenarnya yang mengenalkan rute ”hidung belang” ini kakeknya juga. Ketika di awal-awal kelas 1, waktu umurnya baru enam setengah tahun. Saat dia masih diantar jemput kakek. Mereka lewat rute yang jauh, tentu saja. Tetapi ada satu waktu, karena satu keperluan yang menuntut harus pulang buru-buru, kakek menggandengnya lewat rute pelacuran supaya cepat sampai rumah. Kakeknya waktu itu menimbang bahwa toh April masih kecil, ingatan belum akurat. Masa iya sih akan bisa ingat lagi kalau hanya sekali saja melewati. Tetapi nyatanya dugaannya keliru. April jauh lebih cerdas daripada yang beliau kira. Ingatan April kecil lebih akurat dibandingkan anjing gembala Jerman.

Ketika April sudah dilepas pergi-pulang sendiri, langsung saja dia memlih rute pelacuran. Sudah barang tentu dia sampai di rumah jadi lebih cepat.

Kakeknya bertanya, “Lewat mana kamu tadi, Pril?“

Dengan polos April menjawab, “Lewat jalan tanah itu, Kek. Yang banyak pepohonan. Yang ada sungai kecil di sebelah ujungnya.”

Kakek April terkesiap. Beliau tahu jalan mana itu. “Lhoo, April tidak boleh lewat jalan itu. Nanti kamu bisa tersesat. Jalan-jalan di sana tidak keruan. Banyak belok-belok. April lewat jalan besar saja, ya. Jangan lewat sana lagi.”

April lantas paham jikalau kakeknya tidak mau dia lewat jalan yang teduh dan dekat itu. Tetapi April tidak perduli. Dia yakin kalau dia tidak mungkin tersesat. Oleh karena itu setiap pulang sekolah dia meluangkan main-main sebentar di sekolah sebelum pulang. Dan sesampainya di rumah, ketika ditanya lagi oleh kakek mengenai jalan mana yang di ambil, April bilang lewat jalan besar. Lewat toko-toko. Setelah beberapa kali menanya guna meyakinkan, kakek tidak risau lagi. Beliau segera lupa masalah rute cucunya.

Dulu sewaktu masih kelas satu, dua, dan tiga, April masih jarang sekali melihat lonte ketika dia lewat sana. Hampir semua dari mereka masih tidur kecapaian. Tapi setelah kelas 4, ketika anak-anak pulang jam setengah satu, April mulai melihat lebih banyak perempuan. Berkeleleran hanya berkain dan berkutang, merokok-rokok, malas-malasan di beranda rumah-rumah kayu yang dilewatinya. April tidak ambil pusing soal bermunculannya kaum hawa tersebut. Perempuan-perempuan itu juga tidak ambil pusing soal April setiap hari lewat di depan mereka.

Hingga sampai pada suatu siang. Siang yang bersejarah karena mulai dari siang itu April mulai berinteraksi dengan lonte. Terutama dengan Jumiati dan beberapa temannya.

Seperti biasa April yang hitam mungil sedang berjalan pulang di lewat tengah hari yang terik. Dia sudah berjalan beberapa puluh meter  di jalan tanah komplek pelacuran. Tiba-tiba  jeritan perempuan melengking dari sebuah rumah beberapa meter di depannya. Disusul tiga perempuan berhamburan keluar. Mereka bergidik-gidik ngeri.

Sampai di perempuan-perempuan yang sedang bergidik-gidik itu April berhenti dan bertanya, ”Ada apa, Mbak?”

”Iiiii, ular! Ular di dalam sana tuh! Iiiii, ular belang.” Dijawab Jumiati sambil ngeri berjingkrak-jingkrak.

”Ular? Mana ular?” April melongok jelalatan ke dalam ruang tamu rumah yang dituding-tuding sedang digerayangi ular.

Jumiati mencengkram lengannya menahan, ”Eiiii, jangan coba-cobaa! Bisanya ganas yang seperti itu!” April mengibas cengkramannya dan melihat lebih teliti. Dilihatnya ular belang hitam putih sebesar kelingking orang dewasa sedang meliuk-liuk di lantai semen ruang tamu. Seekor ular kesasar.

Yang ada di pikiran April, ular adalah hewan berbisa dan harus dipindahkan. Supaya perempuan-perempuan itu tidak ketakutan lagi. Dari itu dia mendapatkan sebatang ranting dan dengan tenang dia lantas melangkah masuk ke arena tempat ular meliuk-liuk bingung. Perempuan-perempuan yang sedang ngeri terpana melihat perbuatan tabah dan berani dari anak kecil berbaju putih celana merah.

Dekat dengan ular, April membungkuk. Ditotokkan ranting di dekat bagian tengah ular kemudian ranting disonteknya sehingga si ular menggelantung lewat badannya pada ranting. Bergegas tapi tetap kalem April membawa ranting yang diganduli ular keluar dan seterusnya berjalan tanpa menoleh. Dia terus menuju ke kali yang berada sisi ujung pelacuran. Di sana ular dilentingkannya jauh-jauh ke seberang kali kembali ke semak-semak. Sudah itu dia langsung melanjutkan perjalanannya pulang.

Esok siangnya ketika April lewat rumah yang digerayangi ular, Jumiati memanggilnya. Jumiati memang tinggal di situ. ”Nang,  kemari sebentar.” April mendekat ke perempuan duduk di kursi di beranda. ”Siapa namamu?” Yang ditanya memberikan namanya. Keduanya saling menatap. April melihat lebih jelas bahwasanya perempuan pertengahan dua puluhan yang mengajaknya bicara berwajah manis berambut hitam kelam panjang berombak. Kulitnya sawo matang.

”Tidak takut ular?” Tanya Jum lagi.

”Takut.”

”Kenapa kemarin berani?”

”Harus hati-hati. Jangan sampai kena gigit.”

Ketika Jumiati menawarkan Indomie rebus sebagai upah keberaniannya membuang ular, April tidak menolak. Dari itu Jumiati memintanya duduk menunggu sementara dia memasak dan datang dua perempuan lain yang rupanya peserta ketakutan ular belang hari sebelumnya.

Mereka menyanjung puja April lapar yang sedang berharap mie lekas datang. Dalam menanggapi sanjung pujanya dia hanya nyengir-nyengir saja. Atau kadang menjawab sepatah dua patah kata atas apa yang ditanyakan kedua perempuan. Ditanya dimana tinggalnya, dia tunjukkan. Ditanya tentang orang tuanya, dijawab ada dia punya ibu kerja di Arab. Lalu tinggal dengan siapa, dijawab dengan kakek dan nenek.

Nah sejak hari itu April menjadi teman kecil Jumiati. Hampir setiap waktu pulang sekolah mereka bertemu. Sering April mampir dan ada saja makanan yang ditawarkan oleh Jumiati kepadanya. April tidak pernah menolak. Sebagai balasan, April yang tahu diri menawarkan apa yang bisa ia bantu untuk Jumiati. Dari itu April-pun  paham bahwsanya Jum paling gemar diinjak-injak punggungnya. Jadi habis makan-makan, mereka sering lalu masuk kamar.

Dua kawan Jumiati pun kadang ikut-ikutan minta diinjak juga. Istilahnya minta ”ngamar” dengan April. Untuk mereka April juga bersedia. April menggeleng hanya ketika dia disodori uang.

Pertemanan berlangsung tanpa putus. Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Makin besar April makin banyak hal-hal yang bisa dilakukannya untuk membantu. Dia bisa mengecat. Memasang bola lampu. Merapikan sambungan-sambungan kabel listrik, atau pekerjaan-pekerjaan rumah tangga lain yang bisa dikerjakan anak laki-laki.

Jumiati punya rasa sayang yang tulus kepada April. Sementara April secara tidak sadar juga menyayanginya laksana figur ibu. Jumiati sakit, April yang mengerik. Jika sakitnya sedikit berat, April memasakkan bubur. Menyuapinya, menjagainya.

Kakek lama-lama mencium situasi, jika April berteman dengan lonte-lonte. Beliau jelas resah pada awalnya. Sampai-sampai, karena beliau tidak tahan lagi, April dipanggilnya. Waktu itu April sudah kelas enam menjelang lulus.

Dalam keadaan hanya berdua kakek bertanya, ”Pril, April tahu apa itu lonte?”

”Tahu, Kek.” Ekspresi April datar-datar saja.

”Apa coba?” Kakek penasaran pada definisi cucunya.

”Perempuan yang disetubuhi laki-laki iseng demi uang.” Kakek kaget kagum dengan definisi April yang terus terang. April bilang lagi, ”Orang-orang yang tidak iseng melihat lonte seperti sampah. Perempuan rusak. Tapi sering bersama mereka, April lihat biasa-biasa saja, Kek. Sama seperti kita makan nasi juga. Malah April selalu dipujikan amit-amit jika sampai seperti tamu-tamu yang ngamar dengan mereka.”

”April tidak takut dihina orang gara-gara berteman dengan lonte?”

”Tidak, Kek. April tidak sedang berbuat jahat. Dan tidak merugikan orang. Bukannya Kakek yang mengajarkan untuk selalu baik dengan sesama?” Dengan pertanyaan ini kakek terdiam beberapa saat.

Akhirnya kakek bilang, ”Ya sudah, teruslah berlaku baik dengan sesama.” Diteruskan dengan membicarakan lain soal daripada lonte.

Mengikuti waktu dan peristiwa,  terjadilah satu kejadian besar di pelacuran. Kejadian yang melibatkan April di dalamnya. Kejadian yang terjadi ketika April kelas dua SMP.

Menepati janjinya, sepulang sekolah April datang. Dia hendak bikin betul setrikaan Jum yang katanya tidak mau panas walau sudah terhubung ke listrik. Saat masuk di rumah Jum tidak ada menyambut. Tetapi melihat setrikaan yang sudah ada di meja ruang tamu, April langsung memastikan bahwa Jum ada dan sedang ngamar.

Benar saja. Ketika April grasak-grusuk menaruh alat-alat di lantai, mempersiapkan apa yang harus dikerjakannya, Jum berseru dari dalam kamar, ”Pril? Kamukah itu?”

”Iya.” April menjawab.

”Makan dulu, Pril, sebelum kerja. Pesan bakso saja sana.” Memang ada penjual bakso dorongan yang biasa stop menunggu pembeli beberapa meter dari rumah.

“Iya.” April menaruh semuanya dan bangkit pergi keluar ke tukang bakso. Tak lama dia kembali dan ngelepos lagi membongkar setrikaan.

Tukang bakso datang membawa nampan kayu dengan semangkuk bakso, wadah sambal, dan kecap serta cuka bertahta di atasnya. ”Pril, ini baksonya.”

April menyongsong. Membubuhkan banyak sambal di mangkuk. Memancrutkan kecap dan cuka secukupnya. Tukang bakso berlalu, April duduk di kursi, makan bakso.

Tidak sangka hari ini sambal lebih pedas dari biasanya. Meski April suka pedas, tapi dia telah bubuhkan sambal pedas itu banyak-banyak mengingat biasanya takaran segitu baru terasa. Jadi sekarang dia megap-megap kepedasan. Dari itu diputuskan untuk memakan isinya saja. Kuah yang biasanya tandas, sekarang disisakan hampir seluruhnya.

Selesai makan minum April kembali ke lantai. Meneruskan reparasinya.

Belum lagi lima menit April bekerja, terdengar langkah memasuki rumah. Yang datang adalah Jansen. Preman hidung belang yang sering berkeliaran di pelacuran. Dia datang dalam keadaan mabuk tanggung. Dan dalam keadaaan itu bisa dipastikan bahwa orang bernama Jansen ini selalu reseh. Benar saja. Dengan tanpa menghiraukan April yang sedang berkutat dengan setrikaan, Jansen menghampiri pintu kamar Jumiati di belakang punggung April. Pintu kamar digedor-gedornya sekuat tenaga. ”Buka! Bukaa, Sundal busuk! Kau janji selalu siap untukku!”

Gerendel pintu ditarik, Jumiati membukanya sedikit, ”Sebentar, Bang...”

Belum selesai Jumiati bicara, Jansen menjambak rambut tebal Jum yang saat itu sedikit awut-awutan karena cinta sesaat. Dijambak dan ditariknya sehingga Jum mengaduh kesakitan. Jansen berteriak parau, ”Sekarang, Sundal! Lempar yang di dalam keluar. Aku gantikan!”

Mendengar Jum terus mengaduh kesakitan, April bangun dan menggapai Jansen mencoba menghentikan kelakuan buasnya, ”Bang, Bang, sudah. Tunggu saja dulu.”

Tangan kanan Jansen yang menjambak Jum memang dilepaskannya. Tapi lantas tangan besar preman itu dipakai untuk mendorong dan membanting April sehingga mukanya telak mendarat di lantai. Sementara itu Jum menggunakan kesempatan alih perhatian ini guna menutup pintu dan menggerendelnya lagi.

April kesakitan sampai keluar sedikit air mata dengan hidungnya menabok lantai. Kepalanya digeleng-geleng untuk mengibas rasa sakit. Jansen kembali menggedor-gedor pintu Jum.

Saat April sedikit pulih dari pening dan linu di tulang hidungnya, pandangnya menumbuk ke cutter baru yang tergeletak di dekatnya bersama obeng, isolasi dan lain lain. Secara reflek cutter dipungutnya dan bilah pengiris dikeluarkannya penuh. Suara krekk cutter menjulur kalah dengan suara gedoran pintu.

Semuanya berlangsung cepat sekali. Dengan didahului melirik dulu sasarannya, sekuat tenaga April membabatkan cutter ke pergelangan kaki kanan Jansen yang hanya memakai sendal kulit. Swugg. Bagian bawah jeans Jansen yang menutup kulit kakinya terrrobek lurus, lalu giliran bagian belakang  mata kaki. Satu otot utama sebesar kelingking yang dalam istilah anatomi bernama tendon achilles.

Cutter baru, tenaga sabetan anak empat belas tahun yang berdarah dingin sudah cukup untuk mengiris sebuah tendon achilles hingga putus sama sekali. Beberapa detik cidera fatal itu belum terasakan oleh Jansen. Dia sempat merasa sesuatu menyayat pergelangan kaki, dan dia tahu itu perbuatan April, maka dia lalu kembali berbalik ke April untuk menyiksanya.

Melihat ancaman April bangun dari lantai dan menjauh. Dia berada di dekat meja sekarang. Melihat mangsanya menghindar Jansen makin berang ceperti celeng luka. Dia ambil ancang-ancang untuk menubruk April mungil yang sedang terpaku fokus menanti gerakan musuhnya.

Salah satu otot terpenting yang membuat manusia manusia bisa melompat berjingkat adalah tendon achilles yang di atas tumit di belakang mata kaki. Manakala otot ini putus, daya jingkat kaki berkurang drastis. Sama halnya dengan Jansen. Dia mencoba menggapai April dengan memanfaatkan kaki kanannya sebagai tumpuan dia meloncat. Tetapi apa daya, dia tidak tahu bahwa sesungguhnya kaki kanannya sudah tidak berkekuatan jungkit lagi dengan putusnya tendon. Maka tahu-tahu dia ambruk beralaskan kedua lututnya. Dan rasa sakit hebat dari pergelangan kaki kanan mulai menyerang.

Bukannya menghentikan usahanya menyerang, Jansen malah mencoba bangkit lagi hendak menerkam April sambil berteriak keras. April yang terpojok hanya bisa meraih mangkuk bakso yang tinggal tersisa kuah dan menyiramkannya secara pas ke muka Jansen. Pyoh!

Sukar dibayangkan bagaimana rasanya jika biji mata mendelik dituang kuah bakso super pedas. Jadilah kini Jansen melolong-lolong meraung-raung merasakan kedua matanya terbakar air cabe dan bagian pergelangannya yang perih linu. Dalam teriakannya dia minta tolong, minta ampun, dan mengancam April juga. Untuk mencabik-cabiknya kemudian..

Dengan tenang April bergerak di seputar Jansen yang menggelepar-gelepar di lantai. Di raihnya setrikaan besi yang hendak diperbaiki. Lalu katanya lantang pada Jansen, ”Aku pegang setrikaan besi yang berat, Bang! Sekali kepruk kepalamu ambyar!”

Jansen beberapa detik berhenti melolong. Lalu melolong lagi. Kali ini dia berhenti mengancam. Hanya minta tolong dan minta ampun.

Sementara itu orang-orang pada berdatangan. Jum juga keluar kamar. Ruang tamu sudah porak poranda. Lantai basah darah dan kuah bakso. Jansen terus melolong merasakan sakitnya. Melihat banyak orang berdatangan, April pergi ke belakang mengambil air dengan ember.

Mulai hari itu setiap orang di pelacuran, dari ujung ke ujung, tahu April. Jadi apabila tengah hari waktu pulang sekolah, sejak dia masuk komplek sampai keluarnya tidak henti-hentinya dia mengangguk-angguk membalas sapaan orang. Itulah imbas dari sebuah aksi. Dan bahkan seorang ibu gembrot ratu bawel yang mulutnya paling jahat se pelacuran jadi terdiam seribu bahasa ketika April lewat dan meliriknya di tengah dia sedang mengomel panjang pendek.

Sabtu, 03 Desember 2011

Aku, tak Ragu

Tuhan,
Aku yakin dengan segala kasih-Mu
Dan aku percaya akan semua sayang-Mu
Namun mengapa aku ini ???
Selalu tak tahu diri
Apakah ada sesuatu yang mengunci hatiku ?!
Sehingga aku lupa akan semua cinta-Mu
Tuhan,
Kau pasti selalu mendekapku
Namun aku tempikkan arti kehangatan-Mu
Apakah aku insan tak tahu balas budi ?!
Kurang bersyukur
Selalu mencari dan berharap yang lebih
Bahkan tanpa terasa dan tak tersadari
Mungkin aku memohon selain kepada-Mu
Tuhan,
Andaikan aku selalu bersujud pada-Mu
Dan bersimpuh di dalam rumah-Mu
Tentu Engkau mau menerima tobatku
Namun aku kadang merasa lain
Karena banyak dosa yang kulakukan

Tuhan,
Aku tahu tangisku tak berarti bagi-Mu !!
Kini biarlah aku merenungi semuanya
Dan akan kucari pintu insyafku
Tapi, aku yakin dan tak meragukan
Akan semua ampunan-Mu, Tuhan.

Jumat, 16 Desember 2011

PRIBADI yang di CARI

0 komentar
all people have something like it or not, especially about ourselves ... personality ... if you have a personality?

Ketulusan
Ketulusan menempati peringkat pertama sebagai sifat yang paling disukai oleh semua orang. Ketulusan membuat orang lain merasa aman dan dihargai karena yakin tidak akan dibodohi atau dibohongi. Orang yang tulus selalu mengatakan kebenaran, tidak suka mengada-ada, pura- pura, mencari-cari alasan atau memutarbalikkan fakta. Prinsipnya “Ya diatas Ya dan Tidak diatas Tidak”. Tentu akan lebih ideal bila ketulusan yang selembut merpati itu diimbangi dengan kecerdikan seekor ular. Dengan begitu, ketulusan tidak menjadi keluguan yang bisa merugikan diri sendiri.

Kerendahan Hati
Berbeda dengan rendah diri yang merupakan kelemahan, kerendah hatian justru mengungkapkan kekuatan. Hanya orang yang kuat jiwanya yang bisa bersikap rendah hati. Ia seperti padi yang semakin berisi semakin menunduk. Orang yang rendah hati bisa mengakui dan menghargai keunggulan orang lain. Ia bisa
membuat orang yang diatasnya merasa oke dan membuat orang yang di bawahnya tidak merasa minder.

Kesetiaan
Kesetiaan sudah menjadi barang langka & sangat tinggi harganya. Orang yang setia selalu bisa dipercaya dan diandalkan. Dia selalu menepati janji, punya komitmen yang kuat, rela berkorban dan tidak suka berkhianat.

Positive Thinking
Orang yang bersikap positif (positive thinking) selalu berusaha melihat segala sesuatu dari kacamata positif, bahkan dalam situasi yang buruk sekalipun. Dia lebih suka membicarakan kebaikan daripada keburukan orang lain, lebih suka bicara mengenai harapan daripada keputusasaan, lebih suka mencari solusi daripada frustasi, lebih suka memuji daripada mengecam, dan sebagainya.

Keceriaan
Karena tidak semua orang dikaruniai temperamen ceria, maka keceriaan tidak harus diartikan ekspresi wajah dan tubuh tapi sikap hati. Orang yang ceria adalah orang yang bisa menikmati hidup, tidak suka mengeluh dan selalu berusaha meraih kegembiraan. Dia bisa mentertawakan situasi, orang lain, juga dirinya sendiri. Dia punya potensi untuk menghibur dan mendorong semangat orang lain.

Bertanggung jawab
Orang yang bertanggung jawab akan melaksanakan kewajibannya dengan sungguh-sungguh. Kalau melakukan kesalahan, dia berani mengakuinya. Ketika mengalami kegagalan, dia tidak akan mencari kambing hitam untuk disalahkan. Bahkan kalau dia merasa kecewa dan sakit hati, dia tidak akan menyalahkan siapapun. Dia menyadari bahwa dirinya sendirilah yang bertanggung jawab atas apapun yang dialami dan dirasakannya.

Percaya Diri
Rasa percaya diri memungkinkan seseorang menerima dirinya sebagaimana adanya, menghargai dirinya dan menghargai orang lain. Orang yang percaya diri mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan dan situasi yang baru. Dia tahu apa yang harus dilakukannya dan melakukannya dengan baik.

Kebesaran Jiwa
Kebesaran jiwa dapat dilihat dari kemampuan seseorang memaafkan orang lain. Orang yang berjiwa besar tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh rasa benci dan permusuhan. Ketika menghadapi masa- masa sukar dia tetap tegar, tidak membiarkan dirinya hanyut dalam kesedihan dan keputusasaan.

Easy Going
Orang yang easy going menganggap hidup ini ringan. Dia tidak suka membesar-besarkan masalah kecil. Bahkan berusaha mengecilkan masalah-masalah besar. Dia tidak suka mengungkit masa lalu dan tidak mau khawatir dengan masa depan. Dia tidak mau pusing dan stress dengan masalah-masalah yang berada di luar kontrolnya.

Empati
Empati adalah sifat yang sangat mengagumkan. Orang yang berempati bukan saja pendengar yang baik tapi juga bisa menempatkan diri pada posisi orang lain. Ketika terjadi konflik dia selalu mencari jalan keluar terbaik bagi kedua belah pihak, tidak suka memaksakan pendapat dan kehendaknya sendiri. Dia selalu berusaha memahami dan mengerti orang lain.

'' APRIL DI PELACURAN ''

0 komentar
Karena merasa jauh lebih dekat dan teduh, sudah sejak dulu-dulu April memilih rute untuk pergi dan pulang sekolah pada jalanan yang melewati pelacuran. Dia enggan menuruti instruksi kakek-neneknya yang mengarahkannya ke rute yang lebih “bermoral” yaitu jalanan aspal yang memutar melewati pertokoan dan lain-lain. Sebabnya disamping lebih jauh dan panas, telapak kaki April jadi seperti menginjak bara rasanya karena dia punya kebiasaan mencopot sepatunya ketika pulang sekolah.

Sebenarnya yang mengenalkan rute ”hidung belang” ini kakeknya juga. Ketika di awal-awal kelas 1, waktu umurnya baru enam setengah tahun. Saat dia masih diantar jemput kakek. Mereka lewat rute yang jauh, tentu saja. Tetapi ada satu waktu, karena satu keperluan yang menuntut harus pulang buru-buru, kakek menggandengnya lewat rute pelacuran supaya cepat sampai rumah. Kakeknya waktu itu menimbang bahwa toh April masih kecil, ingatan belum akurat. Masa iya sih akan bisa ingat lagi kalau hanya sekali saja melewati. Tetapi nyatanya dugaannya keliru. April jauh lebih cerdas daripada yang beliau kira. Ingatan April kecil lebih akurat dibandingkan anjing gembala Jerman.

Ketika April sudah dilepas pergi-pulang sendiri, langsung saja dia memlih rute pelacuran. Sudah barang tentu dia sampai di rumah jadi lebih cepat.

Kakeknya bertanya, “Lewat mana kamu tadi, Pril?“

Dengan polos April menjawab, “Lewat jalan tanah itu, Kek. Yang banyak pepohonan. Yang ada sungai kecil di sebelah ujungnya.”

Kakek April terkesiap. Beliau tahu jalan mana itu. “Lhoo, April tidak boleh lewat jalan itu. Nanti kamu bisa tersesat. Jalan-jalan di sana tidak keruan. Banyak belok-belok. April lewat jalan besar saja, ya. Jangan lewat sana lagi.”

April lantas paham jikalau kakeknya tidak mau dia lewat jalan yang teduh dan dekat itu. Tetapi April tidak perduli. Dia yakin kalau dia tidak mungkin tersesat. Oleh karena itu setiap pulang sekolah dia meluangkan main-main sebentar di sekolah sebelum pulang. Dan sesampainya di rumah, ketika ditanya lagi oleh kakek mengenai jalan mana yang di ambil, April bilang lewat jalan besar. Lewat toko-toko. Setelah beberapa kali menanya guna meyakinkan, kakek tidak risau lagi. Beliau segera lupa masalah rute cucunya.

Dulu sewaktu masih kelas satu, dua, dan tiga, April masih jarang sekali melihat lonte ketika dia lewat sana. Hampir semua dari mereka masih tidur kecapaian. Tapi setelah kelas 4, ketika anak-anak pulang jam setengah satu, April mulai melihat lebih banyak perempuan. Berkeleleran hanya berkain dan berkutang, merokok-rokok, malas-malasan di beranda rumah-rumah kayu yang dilewatinya. April tidak ambil pusing soal bermunculannya kaum hawa tersebut. Perempuan-perempuan itu juga tidak ambil pusing soal April setiap hari lewat di depan mereka.

Hingga sampai pada suatu siang. Siang yang bersejarah karena mulai dari siang itu April mulai berinteraksi dengan lonte. Terutama dengan Jumiati dan beberapa temannya.

Seperti biasa April yang hitam mungil sedang berjalan pulang di lewat tengah hari yang terik. Dia sudah berjalan beberapa puluh meter  di jalan tanah komplek pelacuran. Tiba-tiba  jeritan perempuan melengking dari sebuah rumah beberapa meter di depannya. Disusul tiga perempuan berhamburan keluar. Mereka bergidik-gidik ngeri.

Sampai di perempuan-perempuan yang sedang bergidik-gidik itu April berhenti dan bertanya, ”Ada apa, Mbak?”

”Iiiii, ular! Ular di dalam sana tuh! Iiiii, ular belang.” Dijawab Jumiati sambil ngeri berjingkrak-jingkrak.

”Ular? Mana ular?” April melongok jelalatan ke dalam ruang tamu rumah yang dituding-tuding sedang digerayangi ular.

Jumiati mencengkram lengannya menahan, ”Eiiii, jangan coba-cobaa! Bisanya ganas yang seperti itu!” April mengibas cengkramannya dan melihat lebih teliti. Dilihatnya ular belang hitam putih sebesar kelingking orang dewasa sedang meliuk-liuk di lantai semen ruang tamu. Seekor ular kesasar.

Yang ada di pikiran April, ular adalah hewan berbisa dan harus dipindahkan. Supaya perempuan-perempuan itu tidak ketakutan lagi. Dari itu dia mendapatkan sebatang ranting dan dengan tenang dia lantas melangkah masuk ke arena tempat ular meliuk-liuk bingung. Perempuan-perempuan yang sedang ngeri terpana melihat perbuatan tabah dan berani dari anak kecil berbaju putih celana merah.

Dekat dengan ular, April membungkuk. Ditotokkan ranting di dekat bagian tengah ular kemudian ranting disonteknya sehingga si ular menggelantung lewat badannya pada ranting. Bergegas tapi tetap kalem April membawa ranting yang diganduli ular keluar dan seterusnya berjalan tanpa menoleh. Dia terus menuju ke kali yang berada sisi ujung pelacuran. Di sana ular dilentingkannya jauh-jauh ke seberang kali kembali ke semak-semak. Sudah itu dia langsung melanjutkan perjalanannya pulang.

Esok siangnya ketika April lewat rumah yang digerayangi ular, Jumiati memanggilnya. Jumiati memang tinggal di situ. ”Nang,  kemari sebentar.” April mendekat ke perempuan duduk di kursi di beranda. ”Siapa namamu?” Yang ditanya memberikan namanya. Keduanya saling menatap. April melihat lebih jelas bahwasanya perempuan pertengahan dua puluhan yang mengajaknya bicara berwajah manis berambut hitam kelam panjang berombak. Kulitnya sawo matang.

”Tidak takut ular?” Tanya Jum lagi.

”Takut.”

”Kenapa kemarin berani?”

”Harus hati-hati. Jangan sampai kena gigit.”

Ketika Jumiati menawarkan Indomie rebus sebagai upah keberaniannya membuang ular, April tidak menolak. Dari itu Jumiati memintanya duduk menunggu sementara dia memasak dan datang dua perempuan lain yang rupanya peserta ketakutan ular belang hari sebelumnya.

Mereka menyanjung puja April lapar yang sedang berharap mie lekas datang. Dalam menanggapi sanjung pujanya dia hanya nyengir-nyengir saja. Atau kadang menjawab sepatah dua patah kata atas apa yang ditanyakan kedua perempuan. Ditanya dimana tinggalnya, dia tunjukkan. Ditanya tentang orang tuanya, dijawab ada dia punya ibu kerja di Arab. Lalu tinggal dengan siapa, dijawab dengan kakek dan nenek.

Nah sejak hari itu April menjadi teman kecil Jumiati. Hampir setiap waktu pulang sekolah mereka bertemu. Sering April mampir dan ada saja makanan yang ditawarkan oleh Jumiati kepadanya. April tidak pernah menolak. Sebagai balasan, April yang tahu diri menawarkan apa yang bisa ia bantu untuk Jumiati. Dari itu April-pun  paham bahwsanya Jum paling gemar diinjak-injak punggungnya. Jadi habis makan-makan, mereka sering lalu masuk kamar.

Dua kawan Jumiati pun kadang ikut-ikutan minta diinjak juga. Istilahnya minta ”ngamar” dengan April. Untuk mereka April juga bersedia. April menggeleng hanya ketika dia disodori uang.

Pertemanan berlangsung tanpa putus. Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun. Makin besar April makin banyak hal-hal yang bisa dilakukannya untuk membantu. Dia bisa mengecat. Memasang bola lampu. Merapikan sambungan-sambungan kabel listrik, atau pekerjaan-pekerjaan rumah tangga lain yang bisa dikerjakan anak laki-laki.

Jumiati punya rasa sayang yang tulus kepada April. Sementara April secara tidak sadar juga menyayanginya laksana figur ibu. Jumiati sakit, April yang mengerik. Jika sakitnya sedikit berat, April memasakkan bubur. Menyuapinya, menjagainya.

Kakek lama-lama mencium situasi, jika April berteman dengan lonte-lonte. Beliau jelas resah pada awalnya. Sampai-sampai, karena beliau tidak tahan lagi, April dipanggilnya. Waktu itu April sudah kelas enam menjelang lulus.

Dalam keadaan hanya berdua kakek bertanya, ”Pril, April tahu apa itu lonte?”

”Tahu, Kek.” Ekspresi April datar-datar saja.

”Apa coba?” Kakek penasaran pada definisi cucunya.

”Perempuan yang disetubuhi laki-laki iseng demi uang.” Kakek kaget kagum dengan definisi April yang terus terang. April bilang lagi, ”Orang-orang yang tidak iseng melihat lonte seperti sampah. Perempuan rusak. Tapi sering bersama mereka, April lihat biasa-biasa saja, Kek. Sama seperti kita makan nasi juga. Malah April selalu dipujikan amit-amit jika sampai seperti tamu-tamu yang ngamar dengan mereka.”

”April tidak takut dihina orang gara-gara berteman dengan lonte?”

”Tidak, Kek. April tidak sedang berbuat jahat. Dan tidak merugikan orang. Bukannya Kakek yang mengajarkan untuk selalu baik dengan sesama?” Dengan pertanyaan ini kakek terdiam beberapa saat.

Akhirnya kakek bilang, ”Ya sudah, teruslah berlaku baik dengan sesama.” Diteruskan dengan membicarakan lain soal daripada lonte.

Mengikuti waktu dan peristiwa,  terjadilah satu kejadian besar di pelacuran. Kejadian yang melibatkan April di dalamnya. Kejadian yang terjadi ketika April kelas dua SMP.

Menepati janjinya, sepulang sekolah April datang. Dia hendak bikin betul setrikaan Jum yang katanya tidak mau panas walau sudah terhubung ke listrik. Saat masuk di rumah Jum tidak ada menyambut. Tetapi melihat setrikaan yang sudah ada di meja ruang tamu, April langsung memastikan bahwa Jum ada dan sedang ngamar.

Benar saja. Ketika April grasak-grusuk menaruh alat-alat di lantai, mempersiapkan apa yang harus dikerjakannya, Jum berseru dari dalam kamar, ”Pril? Kamukah itu?”

”Iya.” April menjawab.

”Makan dulu, Pril, sebelum kerja. Pesan bakso saja sana.” Memang ada penjual bakso dorongan yang biasa stop menunggu pembeli beberapa meter dari rumah.

“Iya.” April menaruh semuanya dan bangkit pergi keluar ke tukang bakso. Tak lama dia kembali dan ngelepos lagi membongkar setrikaan.

Tukang bakso datang membawa nampan kayu dengan semangkuk bakso, wadah sambal, dan kecap serta cuka bertahta di atasnya. ”Pril, ini baksonya.”

April menyongsong. Membubuhkan banyak sambal di mangkuk. Memancrutkan kecap dan cuka secukupnya. Tukang bakso berlalu, April duduk di kursi, makan bakso.

Tidak sangka hari ini sambal lebih pedas dari biasanya. Meski April suka pedas, tapi dia telah bubuhkan sambal pedas itu banyak-banyak mengingat biasanya takaran segitu baru terasa. Jadi sekarang dia megap-megap kepedasan. Dari itu diputuskan untuk memakan isinya saja. Kuah yang biasanya tandas, sekarang disisakan hampir seluruhnya.

Selesai makan minum April kembali ke lantai. Meneruskan reparasinya.

Belum lagi lima menit April bekerja, terdengar langkah memasuki rumah. Yang datang adalah Jansen. Preman hidung belang yang sering berkeliaran di pelacuran. Dia datang dalam keadaan mabuk tanggung. Dan dalam keadaaan itu bisa dipastikan bahwa orang bernama Jansen ini selalu reseh. Benar saja. Dengan tanpa menghiraukan April yang sedang berkutat dengan setrikaan, Jansen menghampiri pintu kamar Jumiati di belakang punggung April. Pintu kamar digedor-gedornya sekuat tenaga. ”Buka! Bukaa, Sundal busuk! Kau janji selalu siap untukku!”

Gerendel pintu ditarik, Jumiati membukanya sedikit, ”Sebentar, Bang...”

Belum selesai Jumiati bicara, Jansen menjambak rambut tebal Jum yang saat itu sedikit awut-awutan karena cinta sesaat. Dijambak dan ditariknya sehingga Jum mengaduh kesakitan. Jansen berteriak parau, ”Sekarang, Sundal! Lempar yang di dalam keluar. Aku gantikan!”

Mendengar Jum terus mengaduh kesakitan, April bangun dan menggapai Jansen mencoba menghentikan kelakuan buasnya, ”Bang, Bang, sudah. Tunggu saja dulu.”

Tangan kanan Jansen yang menjambak Jum memang dilepaskannya. Tapi lantas tangan besar preman itu dipakai untuk mendorong dan membanting April sehingga mukanya telak mendarat di lantai. Sementara itu Jum menggunakan kesempatan alih perhatian ini guna menutup pintu dan menggerendelnya lagi.

April kesakitan sampai keluar sedikit air mata dengan hidungnya menabok lantai. Kepalanya digeleng-geleng untuk mengibas rasa sakit. Jansen kembali menggedor-gedor pintu Jum.

Saat April sedikit pulih dari pening dan linu di tulang hidungnya, pandangnya menumbuk ke cutter baru yang tergeletak di dekatnya bersama obeng, isolasi dan lain lain. Secara reflek cutter dipungutnya dan bilah pengiris dikeluarkannya penuh. Suara krekk cutter menjulur kalah dengan suara gedoran pintu.

Semuanya berlangsung cepat sekali. Dengan didahului melirik dulu sasarannya, sekuat tenaga April membabatkan cutter ke pergelangan kaki kanan Jansen yang hanya memakai sendal kulit. Swugg. Bagian bawah jeans Jansen yang menutup kulit kakinya terrrobek lurus, lalu giliran bagian belakang  mata kaki. Satu otot utama sebesar kelingking yang dalam istilah anatomi bernama tendon achilles.

Cutter baru, tenaga sabetan anak empat belas tahun yang berdarah dingin sudah cukup untuk mengiris sebuah tendon achilles hingga putus sama sekali. Beberapa detik cidera fatal itu belum terasakan oleh Jansen. Dia sempat merasa sesuatu menyayat pergelangan kaki, dan dia tahu itu perbuatan April, maka dia lalu kembali berbalik ke April untuk menyiksanya.

Melihat ancaman April bangun dari lantai dan menjauh. Dia berada di dekat meja sekarang. Melihat mangsanya menghindar Jansen makin berang ceperti celeng luka. Dia ambil ancang-ancang untuk menubruk April mungil yang sedang terpaku fokus menanti gerakan musuhnya.

Salah satu otot terpenting yang membuat manusia manusia bisa melompat berjingkat adalah tendon achilles yang di atas tumit di belakang mata kaki. Manakala otot ini putus, daya jingkat kaki berkurang drastis. Sama halnya dengan Jansen. Dia mencoba menggapai April dengan memanfaatkan kaki kanannya sebagai tumpuan dia meloncat. Tetapi apa daya, dia tidak tahu bahwa sesungguhnya kaki kanannya sudah tidak berkekuatan jungkit lagi dengan putusnya tendon. Maka tahu-tahu dia ambruk beralaskan kedua lututnya. Dan rasa sakit hebat dari pergelangan kaki kanan mulai menyerang.

Bukannya menghentikan usahanya menyerang, Jansen malah mencoba bangkit lagi hendak menerkam April sambil berteriak keras. April yang terpojok hanya bisa meraih mangkuk bakso yang tinggal tersisa kuah dan menyiramkannya secara pas ke muka Jansen. Pyoh!

Sukar dibayangkan bagaimana rasanya jika biji mata mendelik dituang kuah bakso super pedas. Jadilah kini Jansen melolong-lolong meraung-raung merasakan kedua matanya terbakar air cabe dan bagian pergelangannya yang perih linu. Dalam teriakannya dia minta tolong, minta ampun, dan mengancam April juga. Untuk mencabik-cabiknya kemudian..

Dengan tenang April bergerak di seputar Jansen yang menggelepar-gelepar di lantai. Di raihnya setrikaan besi yang hendak diperbaiki. Lalu katanya lantang pada Jansen, ”Aku pegang setrikaan besi yang berat, Bang! Sekali kepruk kepalamu ambyar!”

Jansen beberapa detik berhenti melolong. Lalu melolong lagi. Kali ini dia berhenti mengancam. Hanya minta tolong dan minta ampun.

Sementara itu orang-orang pada berdatangan. Jum juga keluar kamar. Ruang tamu sudah porak poranda. Lantai basah darah dan kuah bakso. Jansen terus melolong merasakan sakitnya. Melihat banyak orang berdatangan, April pergi ke belakang mengambil air dengan ember.

Mulai hari itu setiap orang di pelacuran, dari ujung ke ujung, tahu April. Jadi apabila tengah hari waktu pulang sekolah, sejak dia masuk komplek sampai keluarnya tidak henti-hentinya dia mengangguk-angguk membalas sapaan orang. Itulah imbas dari sebuah aksi. Dan bahkan seorang ibu gembrot ratu bawel yang mulutnya paling jahat se pelacuran jadi terdiam seribu bahasa ketika April lewat dan meliriknya di tengah dia sedang mengomel panjang pendek.

Sabtu, 03 Desember 2011

Aku, tak Ragu

0 komentar
Tuhan,
Aku yakin dengan segala kasih-Mu
Dan aku percaya akan semua sayang-Mu
Namun mengapa aku ini ???
Selalu tak tahu diri
Apakah ada sesuatu yang mengunci hatiku ?!
Sehingga aku lupa akan semua cinta-Mu
Tuhan,
Kau pasti selalu mendekapku
Namun aku tempikkan arti kehangatan-Mu
Apakah aku insan tak tahu balas budi ?!
Kurang bersyukur
Selalu mencari dan berharap yang lebih
Bahkan tanpa terasa dan tak tersadari
Mungkin aku memohon selain kepada-Mu
Tuhan,
Andaikan aku selalu bersujud pada-Mu
Dan bersimpuh di dalam rumah-Mu
Tentu Engkau mau menerima tobatku
Namun aku kadang merasa lain
Karena banyak dosa yang kulakukan

Tuhan,
Aku tahu tangisku tak berarti bagi-Mu !!
Kini biarlah aku merenungi semuanya
Dan akan kucari pintu insyafku
Tapi, aku yakin dan tak meragukan
Akan semua ampunan-Mu, Tuhan.