Karena merasa jauh lebih dekat dan teduh, sudah sejak dulu-dulu April
memilih rute untuk pergi dan pulang sekolah pada jalanan yang melewati
pelacuran. Dia enggan menuruti instruksi kakek-neneknya yang
mengarahkannya ke rute yang lebih “bermoral” yaitu jalanan aspal yang
memutar melewati pertokoan dan lain-lain. Sebabnya disamping lebih jauh
dan panas, telapak kaki April jadi seperti menginjak bara rasanya karena
dia punya kebiasaan mencopot sepatunya ketika pulang sekolah.
Sebenarnya
yang mengenalkan rute ”hidung belang” ini kakeknya juga. Ketika di
awal-awal kelas 1, waktu umurnya baru enam setengah tahun. Saat dia
masih diantar jemput kakek. Mereka lewat rute yang jauh, tentu saja.
Tetapi ada satu waktu, karena satu keperluan yang menuntut harus pulang
buru-buru, kakek menggandengnya lewat rute pelacuran supaya cepat sampai
rumah. Kakeknya waktu itu menimbang bahwa toh April masih kecil,
ingatan belum akurat. Masa iya sih akan bisa ingat lagi kalau hanya
sekali saja melewati. Tetapi nyatanya dugaannya keliru. April jauh lebih
cerdas daripada yang beliau kira. Ingatan April kecil lebih akurat
dibandingkan anjing gembala Jerman.
Ketika April sudah
dilepas pergi-pulang sendiri, langsung saja dia memlih rute pelacuran.
Sudah barang tentu dia sampai di rumah jadi lebih cepat.
Kakeknya bertanya, “Lewat mana kamu tadi, Pril?“
Dengan polos April menjawab, “Lewat jalan tanah itu, Kek. Yang banyak pepohonan. Yang ada sungai kecil di sebelah ujungnya.”
Kakek
April terkesiap. Beliau tahu jalan mana itu. “Lhoo, April tidak boleh
lewat jalan itu. Nanti kamu bisa tersesat. Jalan-jalan di sana tidak
keruan. Banyak belok-belok. April lewat jalan besar saja, ya. Jangan
lewat sana lagi.”
April lantas paham jikalau kakeknya
tidak mau dia lewat jalan yang teduh dan dekat itu. Tetapi April tidak
perduli. Dia yakin kalau dia tidak mungkin tersesat. Oleh karena itu
setiap pulang sekolah dia meluangkan main-main sebentar di sekolah
sebelum pulang. Dan sesampainya di rumah, ketika ditanya lagi oleh kakek
mengenai jalan mana yang di ambil, April bilang lewat jalan besar.
Lewat toko-toko. Setelah beberapa kali menanya guna meyakinkan, kakek
tidak risau lagi. Beliau segera lupa masalah rute cucunya.
Dulu
sewaktu masih kelas satu, dua, dan tiga, April masih jarang sekali
melihat lonte ketika dia lewat sana. Hampir semua dari mereka masih
tidur kecapaian. Tapi setelah kelas 4, ketika anak-anak pulang jam
setengah satu, April mulai melihat lebih banyak perempuan. Berkeleleran
hanya berkain dan berkutang, merokok-rokok, malas-malasan di beranda
rumah-rumah kayu yang dilewatinya. April tidak ambil pusing soal
bermunculannya kaum hawa tersebut. Perempuan-perempuan itu juga tidak
ambil pusing soal April setiap hari lewat di depan mereka.
Hingga
sampai pada suatu siang. Siang yang bersejarah karena mulai dari siang
itu April mulai berinteraksi dengan lonte. Terutama dengan Jumiati dan
beberapa temannya.
Seperti biasa April yang hitam mungil
sedang berjalan pulang di lewat tengah hari yang terik. Dia sudah
berjalan beberapa puluh meter di jalan tanah komplek pelacuran.
Tiba-tiba jeritan perempuan melengking dari sebuah rumah beberapa meter
di depannya. Disusul tiga perempuan berhamburan keluar. Mereka
bergidik-gidik ngeri.
Sampai di perempuan-perempuan yang sedang bergidik-gidik itu April berhenti dan bertanya, ”Ada apa, Mbak?”
”Iiiii, ular! Ular di dalam sana tuh! Iiiii, ular belang.” Dijawab Jumiati sambil ngeri berjingkrak-jingkrak.
”Ular? Mana ular?” April melongok jelalatan ke dalam ruang tamu rumah yang dituding-tuding sedang digerayangi ular.
Jumiati
mencengkram lengannya menahan, ”Eiiii, jangan coba-cobaa! Bisanya ganas
yang seperti itu!” April mengibas cengkramannya dan melihat lebih
teliti. Dilihatnya ular belang hitam putih sebesar kelingking orang
dewasa sedang meliuk-liuk di lantai semen ruang tamu. Seekor ular
kesasar.
Yang ada di pikiran April, ular adalah hewan
berbisa dan harus dipindahkan. Supaya perempuan-perempuan itu tidak
ketakutan lagi. Dari itu dia mendapatkan sebatang ranting dan dengan
tenang dia lantas melangkah masuk ke arena tempat ular meliuk-liuk
bingung. Perempuan-perempuan yang sedang ngeri terpana melihat perbuatan
tabah dan berani dari anak kecil berbaju putih celana merah.
Dekat
dengan ular, April membungkuk. Ditotokkan ranting di dekat bagian
tengah ular kemudian ranting disonteknya sehingga si ular menggelantung
lewat badannya pada ranting. Bergegas tapi tetap kalem April membawa
ranting yang diganduli ular keluar dan seterusnya berjalan tanpa
menoleh. Dia terus menuju ke kali yang berada sisi ujung pelacuran. Di
sana ular dilentingkannya jauh-jauh ke seberang kali kembali ke
semak-semak. Sudah itu dia langsung melanjutkan perjalanannya pulang.
Esok
siangnya ketika April lewat rumah yang digerayangi ular, Jumiati
memanggilnya. Jumiati memang tinggal di situ. ”Nang, kemari sebentar.”
April mendekat ke perempuan duduk di kursi di beranda. ”Siapa namamu?”
Yang ditanya memberikan namanya. Keduanya saling menatap. April melihat
lebih jelas bahwasanya perempuan pertengahan dua puluhan yang
mengajaknya bicara berwajah manis berambut hitam kelam panjang berombak.
Kulitnya sawo matang.
”Tidak takut ular?” Tanya Jum lagi.
”Takut.”
”Kenapa kemarin berani?”
”Harus hati-hati. Jangan sampai kena gigit.”
Ketika
Jumiati menawarkan Indomie rebus sebagai upah keberaniannya membuang
ular, April tidak menolak. Dari itu Jumiati memintanya duduk menunggu
sementara dia memasak dan datang dua perempuan lain yang rupanya peserta
ketakutan ular belang hari sebelumnya.
Mereka menyanjung
puja April lapar yang sedang berharap mie lekas datang. Dalam menanggapi
sanjung pujanya dia hanya nyengir-nyengir saja. Atau kadang menjawab
sepatah dua patah kata atas apa yang ditanyakan kedua perempuan. Ditanya
dimana tinggalnya, dia tunjukkan. Ditanya tentang orang tuanya, dijawab
ada dia punya ibu kerja di Arab. Lalu tinggal dengan siapa, dijawab
dengan kakek dan nenek.
Nah sejak hari itu April menjadi
teman kecil Jumiati. Hampir setiap waktu pulang sekolah mereka bertemu.
Sering April mampir dan ada saja makanan yang ditawarkan oleh Jumiati
kepadanya. April tidak pernah menolak. Sebagai balasan, April yang tahu
diri menawarkan apa yang bisa ia bantu untuk Jumiati. Dari itu
April-pun paham bahwsanya Jum paling gemar diinjak-injak punggungnya.
Jadi habis makan-makan, mereka sering lalu masuk kamar.
Dua
kawan Jumiati pun kadang ikut-ikutan minta diinjak juga. Istilahnya
minta ”ngamar” dengan April. Untuk mereka April juga bersedia. April
menggeleng hanya ketika dia disodori uang.
Pertemanan
berlangsung tanpa putus. Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun.
Makin besar April makin banyak hal-hal yang bisa dilakukannya untuk
membantu. Dia bisa mengecat. Memasang bola lampu. Merapikan
sambungan-sambungan kabel listrik, atau pekerjaan-pekerjaan rumah tangga
lain yang bisa dikerjakan anak laki-laki.
Jumiati punya
rasa sayang yang tulus kepada April. Sementara April secara tidak sadar
juga menyayanginya laksana figur ibu. Jumiati sakit, April yang
mengerik. Jika sakitnya sedikit berat, April memasakkan bubur.
Menyuapinya, menjagainya.
Kakek lama-lama mencium situasi,
jika April berteman dengan lonte-lonte. Beliau jelas resah pada
awalnya. Sampai-sampai, karena beliau tidak tahan lagi, April
dipanggilnya. Waktu itu April sudah kelas enam menjelang lulus.
Dalam keadaan hanya berdua kakek bertanya, ”Pril, April tahu apa itu lonte?”
”Tahu, Kek.” Ekspresi April datar-datar saja.
”Apa coba?” Kakek penasaran pada definisi cucunya.
”Perempuan
yang disetubuhi laki-laki iseng demi uang.” Kakek kaget kagum dengan
definisi April yang terus terang. April bilang lagi, ”Orang-orang yang
tidak iseng melihat lonte seperti sampah. Perempuan rusak. Tapi sering
bersama mereka, April lihat biasa-biasa saja, Kek. Sama seperti kita
makan nasi juga. Malah April selalu dipujikan amit-amit jika sampai
seperti tamu-tamu yang ngamar dengan mereka.”
”April tidak takut dihina orang gara-gara berteman dengan lonte?”
”Tidak,
Kek. April tidak sedang berbuat jahat. Dan tidak merugikan orang.
Bukannya Kakek yang mengajarkan untuk selalu baik dengan sesama?” Dengan
pertanyaan ini kakek terdiam beberapa saat.
Akhirnya kakek bilang, ”Ya sudah, teruslah berlaku baik dengan sesama.” Diteruskan dengan membicarakan lain soal daripada lonte.
Mengikuti
waktu dan peristiwa, terjadilah satu kejadian besar di pelacuran.
Kejadian yang melibatkan April di dalamnya. Kejadian yang terjadi ketika
April kelas dua SMP.
Menepati janjinya, sepulang sekolah
April datang. Dia hendak bikin betul setrikaan Jum yang katanya tidak
mau panas walau sudah terhubung ke listrik. Saat masuk di rumah Jum
tidak ada menyambut. Tetapi melihat setrikaan yang sudah ada di meja
ruang tamu, April langsung memastikan bahwa Jum ada dan sedang ngamar.
Benar
saja. Ketika April grasak-grusuk menaruh alat-alat di lantai,
mempersiapkan apa yang harus dikerjakannya, Jum berseru dari dalam
kamar, ”Pril? Kamukah itu?”
”Iya.” April menjawab.
”Makan
dulu, Pril, sebelum kerja. Pesan bakso saja sana.” Memang ada penjual
bakso dorongan yang biasa stop menunggu pembeli beberapa meter dari
rumah.
“Iya.” April menaruh semuanya dan bangkit pergi
keluar ke tukang bakso. Tak lama dia kembali dan ngelepos lagi
membongkar setrikaan.
Tukang bakso datang membawa nampan
kayu dengan semangkuk bakso, wadah sambal, dan kecap serta cuka bertahta
di atasnya. ”Pril, ini baksonya.”
April menyongsong.
Membubuhkan banyak sambal di mangkuk. Memancrutkan kecap dan cuka
secukupnya. Tukang bakso berlalu, April duduk di kursi, makan bakso.
Tidak
sangka hari ini sambal lebih pedas dari biasanya. Meski April suka
pedas, tapi dia telah bubuhkan sambal pedas itu banyak-banyak mengingat
biasanya takaran segitu baru terasa. Jadi sekarang dia megap-megap
kepedasan. Dari itu diputuskan untuk memakan isinya saja. Kuah yang
biasanya tandas, sekarang disisakan hampir seluruhnya.
Selesai makan minum April kembali ke lantai. Meneruskan reparasinya.
Belum
lagi lima menit April bekerja, terdengar langkah memasuki rumah. Yang
datang adalah Jansen. Preman hidung belang yang sering berkeliaran di
pelacuran. Dia datang dalam keadaan mabuk tanggung. Dan dalam keadaaan
itu bisa dipastikan bahwa orang bernama Jansen ini selalu reseh. Benar
saja. Dengan tanpa menghiraukan April yang sedang berkutat dengan
setrikaan, Jansen menghampiri pintu kamar Jumiati di belakang punggung
April. Pintu kamar digedor-gedornya sekuat tenaga. ”Buka! Bukaa, Sundal
busuk! Kau janji selalu siap untukku!”
Gerendel pintu ditarik, Jumiati membukanya sedikit, ”Sebentar, Bang...”
Belum
selesai Jumiati bicara, Jansen menjambak rambut tebal Jum yang saat itu
sedikit awut-awutan karena cinta sesaat. Dijambak dan ditariknya
sehingga Jum mengaduh kesakitan. Jansen berteriak parau, ”Sekarang,
Sundal! Lempar yang di dalam keluar. Aku gantikan!”
Mendengar
Jum terus mengaduh kesakitan, April bangun dan menggapai Jansen mencoba
menghentikan kelakuan buasnya, ”Bang, Bang, sudah. Tunggu saja dulu.”
Tangan
kanan Jansen yang menjambak Jum memang dilepaskannya. Tapi lantas
tangan besar preman itu dipakai untuk mendorong dan membanting April
sehingga mukanya telak mendarat di lantai. Sementara itu Jum menggunakan
kesempatan alih perhatian ini guna menutup pintu dan menggerendelnya
lagi.
April kesakitan sampai keluar sedikit air mata
dengan hidungnya menabok lantai. Kepalanya digeleng-geleng untuk
mengibas rasa sakit. Jansen kembali menggedor-gedor pintu Jum.
Saat
April sedikit pulih dari pening dan linu di tulang hidungnya,
pandangnya menumbuk ke cutter baru yang tergeletak di dekatnya bersama
obeng, isolasi dan lain lain. Secara reflek cutter dipungutnya dan bilah
pengiris dikeluarkannya penuh. Suara krekk cutter menjulur kalah dengan
suara gedoran pintu.
Semuanya berlangsung cepat sekali.
Dengan didahului melirik dulu sasarannya, sekuat tenaga April
membabatkan cutter ke pergelangan kaki kanan Jansen yang hanya memakai
sendal kulit. Swugg. Bagian bawah jeans Jansen yang menutup kulit
kakinya terrrobek lurus, lalu giliran bagian belakang mata kaki. Satu
otot utama sebesar kelingking yang dalam istilah anatomi bernama tendon
achilles.
Cutter baru, tenaga sabetan anak empat belas
tahun yang berdarah dingin sudah cukup untuk mengiris sebuah tendon
achilles hingga putus sama sekali. Beberapa detik cidera fatal itu belum
terasakan oleh Jansen. Dia sempat merasa sesuatu menyayat pergelangan
kaki, dan dia tahu itu perbuatan April, maka dia lalu kembali berbalik
ke April untuk menyiksanya.
Melihat ancaman April bangun
dari lantai dan menjauh. Dia berada di dekat meja sekarang. Melihat
mangsanya menghindar Jansen makin berang ceperti celeng luka. Dia ambil
ancang-ancang untuk menubruk April mungil yang sedang terpaku fokus
menanti gerakan musuhnya.
Salah satu otot terpenting yang
membuat manusia manusia bisa melompat berjingkat adalah tendon achilles
yang di atas tumit di belakang mata kaki. Manakala otot ini putus, daya
jingkat kaki berkurang drastis. Sama halnya dengan Jansen. Dia mencoba
menggapai April dengan memanfaatkan kaki kanannya sebagai tumpuan dia
meloncat. Tetapi apa daya, dia tidak tahu bahwa sesungguhnya kaki
kanannya sudah tidak berkekuatan jungkit lagi dengan putusnya tendon.
Maka tahu-tahu dia ambruk beralaskan kedua lututnya. Dan rasa sakit
hebat dari pergelangan kaki kanan mulai menyerang.
Bukannya
menghentikan usahanya menyerang, Jansen malah mencoba bangkit lagi
hendak menerkam April sambil berteriak keras. April yang terpojok hanya
bisa meraih mangkuk bakso yang tinggal tersisa kuah dan menyiramkannya
secara pas ke muka Jansen. Pyoh!
Sukar dibayangkan
bagaimana rasanya jika biji mata mendelik dituang kuah bakso super
pedas. Jadilah kini Jansen melolong-lolong meraung-raung merasakan kedua
matanya terbakar air cabe dan bagian pergelangannya yang perih linu.
Dalam teriakannya dia minta tolong, minta ampun, dan mengancam April
juga. Untuk mencabik-cabiknya kemudian..
Dengan tenang
April bergerak di seputar Jansen yang menggelepar-gelepar di lantai. Di
raihnya setrikaan besi yang hendak diperbaiki. Lalu katanya lantang pada
Jansen, ”Aku pegang setrikaan besi yang berat, Bang! Sekali kepruk
kepalamu ambyar!”
Jansen beberapa detik berhenti melolong.
Lalu melolong lagi. Kali ini dia berhenti mengancam. Hanya minta tolong
dan minta ampun.
Sementara itu orang-orang pada
berdatangan. Jum juga keluar kamar. Ruang tamu sudah porak poranda.
Lantai basah darah dan kuah bakso. Jansen terus melolong merasakan
sakitnya. Melihat banyak orang berdatangan, April pergi ke belakang
mengambil air dengan ember.
Mulai hari itu setiap orang di
pelacuran, dari ujung ke ujung, tahu April. Jadi apabila tengah hari
waktu pulang sekolah, sejak dia masuk komplek sampai keluarnya tidak
henti-hentinya dia mengangguk-angguk membalas sapaan orang. Itulah imbas
dari sebuah aksi. Dan bahkan seorang ibu gembrot ratu bawel yang
mulutnya paling jahat se pelacuran jadi terdiam seribu bahasa ketika
April lewat dan meliriknya di tengah dia sedang mengomel panjang pendek.